Breaking News

Friday 25 October 2013

Pelajaran dalam Kisah Keluarga Nabi Ibrohim AS

      

   
  Bismillah,,,,Hallo sahabat semuanya semoga senantiasa diberikan kesehatan. Kurang lebih satu minggu ane  gak posting karena di tempat kerja wifi nya abis gangguan kangen posting tapi mau gimana lagi yah harus nunggu internet bisa digunakan dulu.

     Walaupun momentum iedul adha udah kelewat ane pikir gak ada salahnya sedikit kita bahas tentang bab kurban dan yang pasti jika kita berbicara qur'ban tidak akan terlepas dari kisah keluarga Nabi Ibrohim AS.
Sahabat, mungkin kita semua tau bahwa proses qur'ban adalah sebuah proses sejarah yang yang bermula dari proses penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahandanya yakni nabi Ibrohim yang kemudian Ismail diselamatkan oleh Allah dan ganti dengan seekor domba,

    Ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan berkaitan dengan pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah keluarga Ibrohim diantaranya :

1. Yang Pertama, Ibrohim adalah orang yang diberikan oleh Allah Akal yang Cerdas. Bagaimana tidak Allah memberikan kecerdasan terhadap akal yang dimiliki Ibrohim sehingga Ibrohim dengan akalnya menemukan jati dirinya sesungguhnya (Ma;rifatul Insan), dan menemukan siapa tuhannya setelah melalui proses panjang pencariannya dengan melihat benda benda yang ada di alam semesta ini, (Matahari, Bulan, Bintang, dll) adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang merupakan ayat-ayat qauniyah yang menghantararkan Ibrohim sehingga menemukan siapa Allah sebagai yang hak disembah dan yang mengatur isi alam semesta ini.

2. Yang kedua, Perjalanan istrinya siti hajar yakni ibunda daripada nabi Isamail sebagai salah tokoh figur    seorang ibu yang layak diteladani yang sudah teruji kesabaran dan ketaatanya terhadap perintah Allah. bagaimana tidak Siti Hajar dan Ismail ditinggal di padang pasir yang gersang oleh suaminya Ibrohim. Ia Yakin itu adalah perintah Allah sehingga keyakinan itu membuahkan hasil yakni pertolongan Allah. Proses pencarian air lari-lari dari bukit Shafa ke bukit Marwah diabadikan oleh Allah menjadi salah satu dari Arkanul Hajj (Rukun Haji) yang sampai saat ini dilakukan oleh seluruh jamaah haji yang berada di sana. dan Allah berikan buah dari usahanya yakni air zam-zam walaupun air itu dikeluarkan oleh Allah melalui bekas tendangan kaki Ismail.

3. Yang ketiga, Sosok Ismail mewarisi sifat-sifat luhur kedua orang tuanya, Ketaatan dan kesabaran mereka tercermin dalam sikap Nabi Ismail dalam menerima perintah. setelah sebelumnya ketaatan tertinggi dicontohkan oleh Nabi Ibrohim. Yakni melakukan proses penyembelihan kepada orang yang sangat dicintainya yakni Ismail. atas perintah Allah. dan Ketaatan juga ditunjukan oleh Ismail dalam menerima perintah. tanpa ada keraguan sedikitpun. mereka semua menyadari bahwa hakikat pengabdian tertinggi kepada Allah adalah dengan melakukan perintah Nya. Sehingga Ketika bapaknya mengatakan kepada Ismail " Wahai Anakku  aku melihat dalam mimpiku, bahwa aku diperintahkan untuk menyembelihmu, Bagaimana pendapatmu ?, Kemudian Ismail menjawabnya " Wahai Bapaku jika itu adalah perintah Allah, maka lakukanlah, Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang Shabar "
dan semua itu di abadikan oleh Allah dalam QS. As-Shaffat : 102



4. Yang Ke Empat, Dalam hidup semuanya butuh perjuangan dan pengorbanan dicintohkan oleh keluarga Ibrohim, ketika kita menginginkan sesuatu harus kita raih dengan Usaha, itulah hakikat Shabar bukan hanya diam menunggu tapi bergerak, Shabar adalah Aktif bukan Pasif. dan hal itu ditunjukan oleh Hajar dalam kesabaran mencari air disertai dengan usaha lari-lari dari bukit Shafa ke bukit marwah, bukan diam menunggu Allah menurunkan air.

Wallahu Alam,,,semoga bermanfaat......








Read more ...

Sunday 20 October 2013

Urgensi Istighfar dalam setiap Tindakan



Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

             Mari kita tingkatkan dan perbaharui shahadat kita dengan senantiasa mengulang-ulangnya agar kita merasa semakin yakin akan kebenaran Allah yang satu-satunya hak disembah, dan Muhammad adalh suri tauladan yang patut kita teladani. Banyak kenikmatan yang kita peroleh sehat, kenyang,dan ni'mat - ni'mat lainnya yang jika kita hitung kita tidak akan sanggup untuk menghitungnya.

                              Ni’mat akan terasa manakala kita mendapatkan sesuatu yang berkaitan dan bertentangan dengan ni’mat yang kita dapatkan. Ni’mat nya dingin akan kita rasakan manakala kita sedang berada dalam posisi kepanasan, dan ni’mat panas atau api unggun akan kita rasakan manakala kita dalam kondisi kedinginan.    Begitupun ni’matnya kenyang akan kita rasakan setelah kita mengalami lapar, dan ni’matnya minum akan terasa manakala kita sedang kehausan serta  ni’mat sehat akan terasa manakala kita sedang mengalami sakit

                 Demikian halnya dengan kita memohon ampun kepada Allah atau beritigfar kepada Allah kita akan merasa ni’mat manakala kita merasa bahwa diri ini memiliki dosa sehingga dengan dosa itu kita akan bersungguh-sungguh memohon ampun kepada Allah. 

                    Kenapa kita harus merasa bahwa kita memiliki dosa, jangankan Kita sebagai manusia biasa Rasulullah saja yang sudah dimaksum oleh Allah yang sudah di jaga dan dipeliharan dari dosa oleh Allah beristigfar kepada Allah tidak kurang dari 77 kali dalam setiap harinya. Apalagi kita yang tidak dimaksum oleh Allah. Dalam setiap waktu kita mencoba untuk dapat memunculkan perasaan akan dosa-dosa yang kita lakukan sehingga kita akan terjaga dan senantiasa berhati-hati agar kita dapat terhindar dari perbuatan yang nantinya akan membuat diri kita berdosa.

                     Jika perasaan itu tidak ada yang akan terjadi seperti yang sekarang ini banyak terjadi, Pencurian, Korupsi, Pembunahan, dll semua itu terjadi karena pelakunya sudah kehilangan perasaan akan dosa yang telah ia perbuat. Jika seandainya mereka berfikir akan Dosa Niscaya mereka akan berhati-hati dalam bertindak karena mereka tau ketika melakukan itu menimbulkan dosa, dan dosa akan menghantarkan pelakunya ke jurang api neraka.

                    Jika kita memunculkan perasaan – perasaan itu maka Allah akan senantiasa menjaga kita dari dosa-dosa yang akan kita lakukan.
Read more ...

Tuesday 1 October 2013

Sejarah Tokoh Al-Khairyah (KH Syam’un (1894-1949) Pejuang Cilegon


KH SyamunKiai Berpangkat Jenderal

            K.H.Syam’un bin H.Alwiyan adalah pendiri Perguruan Islam Al-Khairiyah Citangkil, Desa Warnasari, Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon, Propinsi Banten. Perguruan tersebut didirikan dalam dua tahap. Bermula dengan sistem Pesantren (Tradisional) dan dikembangkan tahap kedua dengan sistem Madrasah (Klasikal).

           Dilahirkan pada tanggal 5 April 1894, ia masih keturunan dari K.H. Wasid, tokoh “Geger Cielgon” 1888 (perjuangan melawan Pemerintah Kolonial Belanda). Putra pasangan taat beragama H. Hajar dan H. Alwiyan ini sejak masih anak-anak mendapat pendidik pesantren. Sejak usia dini, tepatnya pada usia 4 tahun sudah dikirim orang tuanya menimba ilmu agama di Pesantren Delingseng. Selama dua tahun di sana (1898 -1900) Ki Syam’un yang masih usia balita belajar di bawah asuhan K.H. Sa’i.

               Pesantren Kamasan (1901-1904) di bawah asuhan K.H.Jasim menjadi kelanjutannya menuntut ilmu di tanah air. Sebab selepas itu, pada umur 11 tahun (seusia murid Sekolah Dasar kelas 5), ia melanjutkan study ke Makkah. Lima tahun (1905-1910) bermukim di Makkah dihabiskannya berguru di Masjid al-Haram tempat ahli-ahli keislaman terbaik di dunia berkumpul membagi ilmu. Pendidikan akademiknya dilalui di Al-Azhar University Cairo Mesir (yang saat masih masuk dalam jajaran perguruan tinggi termasyhur di dunia) tempat Ki Syamun kuliah dari 1910-1915.
Read more ...

Getar Air Mata Cinta

Oleh : Tie Al Zaki
 
Hari Mulai Gelap
Ku Lihat Dirimu
Dalam Setiap Putaran Roda Kehidupanku
Cintamu Membayangi Aku setiap Waktu

Tapi Malam Itu,
Tetkala Canda Tawa Menyatu 
Entah Kenapa Butiran Air Mata Menetes dari Mata Indahmu,
Ku Coba Tenangkan hati, Kudekap Dirimu dalam Cintaku,,

Akupun tak tau Masalah Apa yang Menderamu
Seonggok pertanyaan masih terpendam dalam sunyinya malam
Walaupun aku tak pernah tau apa masalahmu.
Tapi Aku tau hatiku selalu tergetar Untuk Slalu mencintaimu.


Cilegon,  2 Oktober 2013
Untukmu Istriku Yang Slalu Mencintai Aku ....



Read more ...

Pelajaran dalam Kisah Nabi Yunus

Sahabat Yang dimuliakan Allah, Kita semua tau bagaimana kisah Nabi Yunus yang ditegur langsung oleh Allah karena meninggalkan pengikutnya lantaran kesal selama bertahun-tahun dakwahnya hanya mendapat pengikut sedikit. Ini adalah pelajaran yang bisa kita ambil dari Kisah Nabi Yunus AS :

1. Dalam kisah ini, Allah menegur Nabi Yunus ‘alaihissalam dengan cara yang halus. Dengan menahannya di dalam perut seekor ikan, sebagai kaffarah (tebusan atas kesalahan beliau) sekaligus tanda kekuasaan Allah yang sangat besar dan karamah (mukjizat) bagi Nabi Yunus ‘alaihissalam.

2. Termasuk nikmat pula dari Allah kepada beliau adalah diterimanya dakwah beliau oleh penduduk negerinya yang berjumlah lebih dari 100.000 orang. Dan besarnya jumlah pengikut, termasuk sebagian keutamaan mereka.

3. Bolehnya melakukan undian ketika menghadapi persoalan yang musykil, mengenai siapa yang berhak atau tidak terhadap suatu perkara, apabila tidak ada yang menguatkan salah satunya. Apa yang dilakukan penumpang kapal tersebut menunjukkan kaidah yang sudah dikenal, yaitu mengambil kemudharatan yang lebih ringan untuk menolak kerusakan yang lebih besar. Tentunya sudah jelas, melempar salah seorang penumpang ke laut sangat berbahaya, namun malapetaka yang akan menimpa seluruh penumpang jauh lebih besar bahayanya.

4. Seorang hamba apabila dia memiliki hubungan yang baik dengan Rabb-nya, di mana dia selalu beramal shalih ketika dia dalam keadaan senang, Allah  tentu mensyukuri amalnya dan mengingatnya pula ketika dia dalam keadaan kesulitan, yakni dengan melepaskannya dari kesulitan itu atau meringankan keadaannya. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kisah Nabi Yunus ‘alaihissalam ini:

فَلَوْلاَ أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِيْنَ. لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
?Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.? (Ash-Shaffat: 143-144)

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
دَعْوَةُ أَخِيْ ذِي النُّون مَا دَعَا بِهَا مَكْرُوبٌ إِلاَّ فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ: لآ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ.

?Doa saudaraku Dzin Nun (Nabi Yunus). Tidaklah seorang yang dalam kesulitan, lalu berdoa dengan doa ini melainkan Allah akan lepaskan dia dari kesulitan itu, yaitu: ?Tidak ada ilah melainkan Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim?.? (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai dari Sa?d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu

5. Iman itu menyelamatkan pemiliknya dari ketakutan dan kesulitan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ
?Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.? (Al-Anbiya: 88)

Read more ...

Kisah Adam & Hawa Keluar dari Syurga


Dan Sesungguhnya Telah kami perintahkan[947] kepada Adam dahulu, Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat. (QS.Thaahaa : 115)


                      Sahabat yang dimuliakan Allah kali ini pembahasan kita berkaitan dengan sejarah. Sejarah adalah bagian dari isi Al Qur'an yang seyogyanya kita ambil untuk kita jadikan pelajaran. Kali ini kita akan bahas tentang sedikit Kisah Nabi adan dan Siti hawa sehingga keduannya dikeluarkan dari Syurga.
          Semuanya bermula ketika Allah menciptakan Adam. Ketika Adam diciptakan selanjutnya Allah memerintahkan kepada Malaikat dan Jin untuk bersujud kepadanya. Sujud dalam arti bukan untuk menyembah Adam tapi Allah yang memerintahkan untuk bersujud. Maka bersujudlah malaikat kecuali Syetan sehingga mengakibatkan ia dikeluarkan dari Syurga. Karena ia dikeluarkan dari Syurga maka ia meminta kepada Allah untuk dipanjangkan umurnya dan berjanji akan menyesatkan anak cucu adam kecuali sedikit darinya yang selamat.
               Tipu daya Syetan yang pertama ditunjukan kepada Adam dan Hawa ketika Allah menempatkan keduannya di dalam Syurga. Allah mempersilahkan kepada keduanya untuk menikmati isi syurga kecuali satu yakni sebuah pohon larangan yang kemudian diberi nama oleh Syetan dengan sebutan Syajaratulkhuldi (pohon kekekalan) Karena menurut syaitan, orang yang memakan buahnya akan kekal, tidak akan mati, dan akan senantiasa berada di syurga. tidak akan terkena terik matahari, tidak akan terbuka auratnya dan tidak akan tersesat.
                   Tapi Syetan begitu pintar dan berkali-kali dan terus menerus membisikan dan memberikan janji manis manis kepada siti hawa sehingga mereka memakan buah larangan itu. sehingga dikeluarkannya ia dari syurga, auratnya terbuka yang kemudian menutupinya dengan dedaunan. Adam dan Hawa telah Durhaka kepada Allah. di sini lah kelemahan Adam Allah menjelaskan ada dua penyebab kenapa adam dan Hawa dikeluarkan dari Syurga karena Lupa terhadap perintah Allah dan tidak memiliki kemauan yang kuat. dan pada akhirnya Adam dan Hawa bertaubat kepada Allah. dan Allah menerima taubat mereka.
Read more ...

Friday 27 September 2013

Kumpulan Cerita Rakyat Banten




MASJID SUMPAH TERATE UDIK
Oleh Annisa Ramadhieni


AKISAH di suatu desa berdirilah sebuah mushola kecil, tempat beribadah masyarakat yang berada di sekitarnya. Selain menjadi tempat ibadah, mushola tersebut sering dipakai untuk bermusyawarah, hingga akhirnya mushola itu dijadikan tempat berkumpul masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan sehari-hari.
Pada suatu hari, datanglah masyarakat berbondong-bondong ke mushola kecil tersebut. Mereka menemui ustadz Wahid, pengurus mushola itu. Pak Ahmad, salah seorang warga masyarakat, maju ke depan dan bercerita kepada ustadz Wahid bahwa terjadi perselisihan perkara tanah antara Pak Tio dan Pak Sidik di balai desa. Ustadz Wahid diminta oleh masyarakat agar menyelesaikan perkara tersebut. Ustadz Wahid pun pergi ke balai desa. Di balai desa, Ustadz Wahid berbicara dengan kedua belah pihak. Masing-masing pihak mengakui bahwa tanah kosong di belakang mushola tersebut adalah miliknya. Tentu saja hal itu sangatlah tidak mungkin. Lalu ustadz Wahid meminta kepada masing-masing pihak untuk berkata sejujur-jujurnya dan apa adanya. Namun hingga senja tiba, kedua belah pihak tetap mengakui bahwa tanah itu milik mereka masing-masing. Ustadz Wahid heran. Kemudian ustadz Wahid memberi usul, bagaimana kalau tanah itu dibagi dua saja. Tapi masing-masing pihak menolak usulan ustadz Wahid, dan bersikeras terhadap pendiriannya masing-masing. Sampai larut malam mereka masih tetap seprti itu. Usatdz Wahid akhirnya memutuskan bahwa perkara ini akan diselesaikan besok pagi di mushola tempat ia tinggal. Dan masing-masing pihak diminta untuk menyiapkan seorang saksi.
Keesokan harinya, kedua belah pihak itu datang ke mushola. Setelah saksi kedua belah pihak datang, barulah musyawarah itu dimulai. Saksi dari kedua belah pihak diminta maju ke depan untuk disumpah. Satu persatu saksi pun disumpah dengan memakai sehelai selendang di hadapan kitab suci Alqur'an.
"Saya berjanji di mushola ini, di depan Al-qur'an, demi Allah bahwa tanah yang ada di belakang mushola ini adalah milik Pak Sidik. Saya yang melihat dan mendengar dengan kepala dan telinga saya sendiri. Ki Ahmad memberikan wasiatnya kepada Pak Sidik sebelum meninggal!" ucap Rahmat, saksi dari pihak Pak Sidik.
"Benar?" tanya Ustadz Wahid.
"Semua itu bohong belaka, Ustadz. Kalian tak boleh berkata seenaknya. Kami dari pihak Pak Tio, sudah mempunyai bukti yaitu surat wasiat KI Ahmad. Surat ini baru kami dapatkan dari orang yang biasa membersihkan kamarnya. Surat ini ditemukan di bawah kasur tempat tidurnya Ki Ahmad!" jelas Randik, saksi dari pihak Pak Tio sambil memperlihatkan surat wasiat tersebut.
Semasa hidupnya Ki Ahmad dikenal sebagai sesepuh desa yang dikenal juga sebagai ulama. Namun sayang, sampai akhir hayatnya Ki Ahmad belum pernah menikah dan tidak mempunyai anak. Sementara itu, kekayaan milik Ki Ahmad tidak ada yang mengurusnya. Hingga akhirnya orang-orang terdekatnya yang dianggap sebagai anak angkat oleh Ki Ahmad sekarang sedang berebut harta kekayaan milik beliau.
Akhirnya, dengan melihat beberapa saksi dan bukti yang meyakinkan, Ustadz Wahid bersama ulama-ulama yang lain memutuskan tanah itu adalah milik Pak Tio. Semua yang mendukung Pak Tio bertepuk tangan gembira. Sementara pihak dari Pak Sidik terlihat muram dan sedih.
Pada malam harinya terdengar berita bahwa Randik, saksi dari pihak Pak Tio tiba-tiba jatuh sakit. Menurut tabib yang memeriksanya, ia terkena penyakit keras yang sudah sangat parah. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia. Pak Tio ketakutan. la merasa bersalah telah menyuruhya untuk bersumpah palsu di hadapan seluruh warga desa. Akhirnya, Pak Tio mengaku bahwa dirinya telah berdusta dan membuat surat wasiat palsu. Pada malam harinya, rumah Pak Tio habis dilalap api. Istri dan anak-anak Pak Tio dapat diselamatkan. Namun Pak Tio tidak bisa diselamatkan lagi. Itulah takdir yang harus Pak Tio terima, karena ia telah membohongi seluruh warga desa. Dari kejadian itu warga desa pun menerima hikmahnya. Kemudian diputuskan bahwa sisa-sisa kekayaan Ki Ahmad akan diwaqafkan dan dipakai untuk membangun mushola dan desa.
Semenjak peristiwa yang menimpa Pak Tio, tak pernah lagi terdengar perselisihan perkara tanah. Namun beberapa waktu kemudian masalah-masalah kembali bermunculan.
Pada suatu malam, terdengar ada seseorang berteriak meminta pertolongan. Ustadz Wahid mendengarnya. Ustadz Wahid pun pergi untuk mencari dari mana asal suara tersebut. Setelah sampai di tempat asal suara tersebut, ustadz Wahid melihat sudah banyak warga desa berdatangan.
"Ada apa ini?" tanya ustadz Wahid heran.
"Begini, Pak Ustadz, rumah Fatimah kecurian. Semua barang-barang berharganya dibawa kabur oleh pencuri!" jawab orang yang menyaksikan peristiwa tersebut. Kemudian ustadz Wahid masuk ke dalam rumah Fatimah. Ustadz Wahid menemukan Fatimah sedang menangis. Lalu ustadz Wahid berusaha menenangkannya. Setelah Fatimah tenang, ustadz Wahid pamit pulang dan ustadz Wahid berjanji akan mencari pencurinya.
Pada keesokan paginya, ada seseorang yang datang ke mushola untuk menemui ustadz Wahid. Orang itu bermaksud untuk berkenalan dengan ustadz Wahid. Orang itu adalah seorang warga yang baru pindah dari kampung sebelah yang bernama Fikar. Orang itu meminta ustadz Wahid datang bersama beberapa warga desa lainnya untuk menghadin syukuran. Ustadz Waliid menerimanya dan ia berjanji akan mengajak teman-teman warga desa lainnya. Sesampainya di rumah Pak Fikar, ustadz Wahid dan warga desa yang lainnya disuguhi berbagai macam makanan yang enak dan lezat. Semuanya merasa senang termasuk ustadz Wahid, terkecuali Pak Umar, suami dari Fatimah yang baru kemarin malam kecurian. Pak Umar merasakan ada sesuatu yang aneh mengganjal di hatinya. Benar saja, ia melihat emas milik istrinya dipakai istrinya Pak Fikar dan ia Juga melihat kalau Pak Fikar memakai cincin batunya yang hilang kemarin malam. Tentu saja Pak Umar merasa curiga, jangan-jangan pencurinya adalah Pak Fikar bersama komplotannya.
Setelah acara usai, terlihat Pak Umar sedang terdiam di teras depan rumah Pak Fikar. Lalu ustadz Wahid menghampinnya.
"Ada apa, Pak Umar? Saya melihat anda dari tadi diam saja," tanya ustadz Wahid.
"Pak ustadz, saya merasa ada yang aneh di sini. Saya melihat emas milik istri saya dipakai oleh istrinya Pak Fikar. Saya juga melihat cincin batu peninggalan bapak saya dipakai oleh Pak Fikar" jelas Pak Umar.
"Mungkin kebetulan saja macam dan bentuknya satna!" ustadz Wahid mengelak.
"Tidak, ustadz. Saya yakin bahwa Pak Fikar adalah seorang pemimpin komplotan pencuri yang merampok rumah saya kemarin malam. Tidak mungkin ada emas yang sama seperti milik istri saya, karena saya khusus memesan satu untuk istri saya. Dan cincin batu itu bapak saya yang membuatnya. Jadi, tidak mungkin ada yang menyamainya. Apalagi dari kampung sebelah."
"Awalnya saya juga merasakan ada sesuatu, tapi perasaan itu hilang saat saya mengetahui kalau Pak Fikar adalah anak dari kakaknya Ki Ahmad. Tapi perasaan itu sekarang muncul kembali setelah saya dengar pengakuan dari Pak Umar!" ucap ustadz Wahid setengah terkejut. Setelah ustadz Wahid pulang, Pak Umar dan beberapa kawannya mencoba menemui Pak Fikar.
Pak Umar mengetuk pintu. Istri Pak Fikar yang membukanya dan memberitahu kalau Pak Fikar sudah tidur. Kemudian, kawan-kawan Pak Umar mencobanya. Dan ternyata, mereka berhasil menemui Pak Fikar. Mereka mencoba mencari tahu tentang cincin dan emas yang ada di tangan Pak Fikar dan istnnya. Sementara itu Pak Umar mengintip dan balik dinding tembikar.
`'0h, ya, Pak Fikar. Cincin yang anda pakai bagus sekali. Dapat dan mana cincin itu?"
"Cincin ini saya dapat kemann dari kakak saya. Saya baru saja mendapatkan warisan yang cukup besar dari kakak saya. Selain itu saya juga mendapat emas dari  kakak saya!" jawab Pak Fikar. Namun, kawan-kawan Pak Umar tetap tidak percaya karena emas dan cincin batu yang dipakai Pak Fikar dan istrinya sudah sering mereka lihat dipakai Pak Umar dan Bu Fatimah. Seusai mereka berbasa-basi, akhirnya kawan-kawan Pak Umar pulang ke rumahnya masing-masing.
Pada pagi harinya, Pak Umar dan kawan-kawan menemui ustadz Wahid di mushola. Mereka bermaksud untuk melaporkan yang telah terjadi semalam. Menurut Pak Umar dan kawan-kawan, jawaban Pak Fikar kurang masuk akal dan jelas terbukti bahwa Pak Fikarlah yang telah mencuri barang-barang berharga milik Pak Umar dan Bu Fatimah. Di saat Pak Umar dan Bu Fatimah kehilangan, Pak Fikar dan istrinya mendapatkan barang-barang tersebut. Pak Umar dan kawan-kawannya sangat geram, dari ingin segera mengusir Pak Fikar dan istrinya dari desa ini. Pak Umar dan kawan-kawannya membuat sebuah rencana. Mereka akan melabrak rumah Pak Fikar, dan mencari barang-barang yang bisa dijadikan sebagai bukti, Tapi rencana mereka gagal karena telah diketahui ustadz Wahid, dan ustadz wahid menghalau mereka di tengah jalan. Ustadz Wahid memutuskan untuk bicara baik-baik dengan Pak Fikar. Ustadz Waiiid akan mengajak Pak Fikar bersumpah di mushola esok harinya.
Matahari telah kembali di ufuk Timur, sinar kembali terang. Pagi-pagi sekali Pak Umar dan istrinya datang beserta kawan-kawannya. Tak lama kemudian Pak Fikar dan istrinya tiba di mushola. Setelah ustadz Wahid mempersiapkan segala sesuatunya akhirnya Pak Fikar disumpah. Pak Fikar harus berkata sejujur mungkin dengan apa adanya.
"Saya berjanji, demi Allah bahwa saya tidak pernah mencuri barang-barang dari rumah Pak Umar!" janji Pak Fikar. Seusai Pak Fikar disumpah, mereka pulang ke rumahnya masing-masing.
Seminggu kemudian tersiar kabar bahwa Pak Fikar menderita penyakit yang sangat aneh. Tubuhnya berbau seperti ikan, di kulitnya tumbuh bisul-bisul yang sangat menjijikan. Semua anggota tubuhnya lumpuh. Sehingga istrinya tak tahan merawat suaminya lagi, dan istrinya pergi meninggalkannya. Beberapa hari kemudian Pak Fikar meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah makam kakaknya.
Berita meninggalnya Pak Fikar membuat seluruh warga menjadi geger. Sehingga seluruh warga desa menganggap mushola itu adalah tempat bersumpah keramat. Dan kabar itu terdengar oleh warga desa seberang, sehingga banyak orang-orang yang sengaja ingin mengunjungi mushola tersebut. Pada suatu saat datang warga desa berbondong-bondong ke mushola tersebut. Mereka meminta bantuan kepada ustadz Wahid untuk menyumpah seseorang yang dituduh sebagai penjarah di pasar. Ustadz Wahid menyanggupinya. Tidak lama kemudian penyumpahan pun dimulai.
"Saya bersumpah demi Yang Maha Pencipta, bahwa saya tidak pernah menjarah di pasar atau pun di tempat lainnya.!" janji orang tersebut. Beberapa minggu kemudian, tidak pernah terjadi apa-apa terhadap orang tersebut. Dan ia dinyatakan tidak bersalah. Semenjak saat itu warga desa menganggap bahwa mushola itu adalah tempat yang harus dijaga dan dilestarikan. Dan akhirnya mushola itu diperbesar dan dijadikan masjid tempat untuk beribadah.
Dari peristiwa tersebut kita bisa mengambil banyak hikmah, bahwa kebaikan itu akan selalu terbukti dan kejahatan pasti akan diketahui walau sekecil apapun. Selain itu kita harus pintar menjaga mulut, agar mulut kita tidak dipergunakan untuk bersumpah sembarangan.
Masjid Terate Udik, itulah nama masjid yang biasa dipakai oleh orang-orang sebagai tempat bersumpah. Akan tetapi, hanya orang-orang yang benar-benar dan bersungguh-sungguhlah yang mau bersumpah di masjid ini. Sampai sekarang masjid ini masih ada dan dijaga serta dilestarikan karena masih dipercayai sebagai masjid sumpah. Namun sayangnya, Masjid Terate Udik yang berada di kampung Terate Udik, desa Masigit, kecamatan Cilegon, kota Cilegon konon ceritanya tidak bisa diabadikan oleh kamera atau pun sejenisnya. Karena hasilnya tidak akan pernah jadi. Begitulah Masjid Terate Udik, masjid yang banyak menyimpan masalah-masalah yang tak terpecahkan.








 
LEGENDA GUNUNG PINANG
oleh: Adkhilni MS


SEMILIR angin senja pantai teluk Banten mempermainkan rambut Dampu Awang yang tengah bersender di bawah pohon nyiur. Pandangannya menembus batas kaki langit teluk Banten. Pikirannya terbang jauh. Jauh sekali. Meninggalkan segala kepenatan hidup dan mengenyahkan kekecewaan atas ibunya. Menuju suatu dunia pribadi dimana hanya ada dirinya sendiri. Ya, hanya dirinya.
"Ibu tidak akan izinkan kamu pergi, Dampu." Dia teringat kata-kata Ibunya tadi pagi.
"Tapi, Bu..." sergah Dampu Awang.
"Tidak! Sekali tidak, tetap tidak!'' Wajah ibunya mulai memerah. "Ibu tahu, nong. Kamu pergi supaya kita tidak sengsara terus. Tapi ibu sudah cukup dengan keadaan kita seperti ini," lanjut ibunya sambil terus menginang.
"Ibu, Dampu janji. Kalau Dampu pulang nanti, Dampu akan membahagiakan ibu. Dampu akan menuruti segala perintah ibu. Coba ibu bayangkan, nanti kita akan kaya, Bu. Kita akan bangun rumah yang besar seperti rumah para bangsawan." Dampu Awang merayu ibunya.
"Dampu ... Ibu lelah," ujar ibunya. "Ibu sudah bosan mendengar ocehanmu tentang harta kekayaan. Setiap hari kamu selalu saja melamun ingin cepat kaya"
Perkataan itu betul-betul menohok tepat di ulu hati Dampu.
"Kamu tahu nong," Ibu melanjutkan ceramahnya. "Ibu masih kuat sampai sekarang, itu karena kamu. Karena masih ada kamu, Dampu. Nanti kalau kamu pergi, siapa yang menemani ibu? Sudahlah, Dampu... Ibu sudah lelah"

Selepas shalat maghrib Dampu Awang kembali menemani laut dari beranda rumah. Wajahnya masih menyisakan harapan sekaligus kekecewaan yang teramat sangat mendalam. Batinnya terus menerus bergejolak. la masih kesal dengan ucapan ibunya.
Apakah ibu tidak tahu di Malaka sana banyak sekali pekerjaan yang akan membuat aku kaya? ujar Dampu dalam hati. Dan kalau aku kaya, tentu ibu akan turut kaya raya. Seharusnya ibu melihat jauh ke masa depan, kita tidak akan kaya kalau kita selamanya hidup di kampung nelayan miskin ini terus.
Kesempatan ini telah lama aku nantikan. Seorang saudagar asal Samudera Pasai datang berdagang ke Banten. Setelah satu bulan lamanya menetap di Banten, kini saatnya saudagar itu angkat sauh dan kembali berlayar ke negeri asal. Tinggal satu minggu lagi, kapal itu akan berlabuh. Namun, ibu belum juga memberikan izin.
"Dampu..." ucap ibunya lembut, khawatir mengagetkan anaknya.
Dampu melihat ibunya tersenyum. Di matanya ada kehangatan cinta yang mendalam. Batin Dampu kembali terguncang. Hatinya terus bertanya-tanya.
"Ada apa, Ibu?" tanya Dampu.
Ibu hanya tersenyum. Matanya meneravvang mencari bintang di langit cerah kemudian memandang' deburan ombak di lautan yang bersinar karena ditimpa sinar gemerlap rembulan.
Betapa bahagia hati Dampu Awang mendengar ibunva memberi izin. la merasakan dadanya menghangat. seolah diselimuti pusaran energi yang dahsyat. Matanya mulai berembun. Dampu Awang pun membentuk sebuah lengkungan manis di bibirnya.
"Terima kasih, Ibu..."
Deburan ombak, semilir angin laut, bau asin pantai, kepak sayap burung-burung camar, lambaian orang-orang kampung, mengiringi kepergian rombongan saudagar dari pelabuhan. Dampu Awang melihat ibunya meratapi kepergiannya. Sebening embun menggenang di pelupuk mata. Masih terngiang di telinganya petuah-petuah yang diberikan ibunya sesaat sebelum ia pergi.
"Dampu..." ujar ibunya, "Ibu titip si Ketut. Kamu harus merawat si Ketut baik-baik, ya nong. Si Ketut ini dulunya peliharaan bapakmu. Bapakmu dulu sangat menyayangi si Ketut. la sangat mahir sebagai burung pengirim pesan. Kamu harus rutin mengirimi ibu kabar. Jaga baik-baik si Ketut seperti kamu menjaga ibu, ya nong," Ibu melanjutkan petuah-petuahnya. Air matanya sudah tidak mampu dibendung lagi.
"Enggih, Bu." Hanya itu yang mampu Dampu ucapkan saat ibunya memberikan puluhan petuah sebelum Dampu berlayar. Tapi ia berjanji akan mengirimi Surat untuk Ibunya tercinta setiap awal purnama.
Setiap hari, saat bola api langit masih malu-malu menyembulkan jidatnya di permukaan bumi, Dampu Awang bekerja membersilikan seluruh galangan kapal dan merapihkan barang-barang di kapal saudagar Teuku Abu Matsyah.
Hari berganti, bulan bergulir, tahun bertambah. Dampu Awang kini terkenal sebagai pekerja yang rajin. Tak aneh, jika Teuku Abu Matsyah begitu perhatian padanya. Bahkan Siti Nurhasanah, putri Teuku Abu Matsyah, diam-diam menaruh hati padanya. Hingga suatu hari Teuku Abu Matsyah memanggil Dampu Awang untuk berbicara empat mata.
"Dampu..." Ujar Abu Matsyah mengawali pembicaraan.
"Saya, Juragan"
"Kita Sudah saling kenal lebih dari lima tahun. Itu bukanlah waktu yang sebentar untuk saling mengenal," suara Abu Matsyah terdengar berat. -Saya kagum dengan kerajinanmu, Dampu."
"Terima kasih, Juragan"
"Karena itu, saya berniat untuk menjodohkan kamu dengan putriku. Siti Nurhasanah," kata Abu Matsyah seraya menyisir-nyisir janggut putihnya.
Dampu Awang terkejut bukan main. la tak menyangka Teuku Abu Matsyah berbuat sejauh ini. Diam-diam ia memang mencintai Siti Nurhasanah, tapi apa pastas? Lantas bagaimana dengan restu ibunya di Banten'? Apakah ia marnpu membahagiakan Siti? Berpuluh-puluh pertanyaan bersarang di kepala Dampu Awang.
"Bagaimana, Dampu?" Pertanyaan Abu Matsyah membawa Dampu Awang kembali ke alam nyata.
"Maaf, Juragan. Saya bukan rnenolak niat baik juragan." Dampu menanti saat yang tepat. "Tetapi apakah saya pastas?"
"Jadi kamu menolak niat baik saya, Dampu?"
"Maaf. Juragan. saya tidak berani menolak niat baik juragan. Tapi ..."

Sudah satu dasawarsa Dampu Awang meninggalkan tanah kelahirannya. la hanya mengirimkan empat kali surat kepada ibunva di Banten. Hingga suatu hari, tersiarlah kabar akan ada saudagar besar dari Malaka. Kabar itu merembet dengan cepat seperti kecepatan awan yang ditiup angin. Setiap orang ramai membicarakan kekayaan saudagar itu.
"Jangan-jangan Dampu Awang pulang," ujar ibunya sumringah. "Dampu Awang, putraku, akhirnya pulang." Ujar ibunya lagi. Dari suaranya tercermin jelas keharuan dan kegembiraan yang tiada terkira. Yang tidak akan mampu terangkum dalam rangkaian kata atau terlalu besar untuk disimpan di dalam gubuk reotnya.
"Alhamdulillah, hatur nuhun Gusti Allah. Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah," berkali-kali wanita itu berucap syukur.
"Woi! Kapalnya sudah datang!" seseorang berseru dari arah pantai
"Hei lihat! Kapalnya besar sekali!" sahut orang yang lain.
Kapalnya luar biasa besar dan megah. Sampai-sampai membentuk bayangan di pantai. Kayunya dari  bahan kayu pilihan. Layarnya luas terbentang. Para awak kapal yang gagah tengah sibuk menurunkan barang bawaan.
Penduduk Banten semakin lama semakin banyak yang merubungi pantai. Mereka penasaran siapa yang datang berkunjung. Ibu Dampu Awang adalah salah satu diantara lautan manusia yang semakin membludak saja itu. Tampang Ibu Dampu Awang lusuh bukan main, bahkan pakaiannya lebih kumal dibanding bendera kapal megah itu.
Sementara itu, di dalam kapal Dampu Awang gelisah. la sekarang sudah menjadi pewaris kekayaan tunggal dari  Teuku Abu Matsyah. Sejak Dampu menikah dengan Siti Nurhasanah, mertuanya itu mempercayakan seluruh harta kekayaannya kepada Dampu. Selang beberapa lama Teuku Abu Matsyah meninggal dunia. Dan kini, namanya sudah tersohor menjadi pedagang yang kaya raya dari Malaka.
Sengaja ia singgah di kampung halamannya, ingin melihat apakah ibunya masih hidup. Hanya untuk sekadar melihat saja. Ratusan pasang tatap mata mengiringi seorang lelaki tampan nan gagah yang keluar dari ruangan kapal. Bajunya terbuat dari kain emas dan pecinya sangat indah sekali. Di pinggangnya terselip golok sakti yang menjadi idaman setiap pendekar. Di pundaknya bertengger seekor burung perkutut yang terlihat sangat sehat.
Di samping lelaki itu terdapat seorang perempuan cantik yang digapitnya mesra. Dia pasti istrinya. Wajahnya putih bersih dan bercahaya. Sedangkan rambutnya hitam legam seperti langit malam. Suatu kombinasi yang sempurna. Cantik sekali!
"Dampuuuuuu! Dampu Awaaaaaang! Ini Ibu. Di sini. Sebelah sini!" teriak Ibu Dampu Awang sambil melambai-lambaikan tangan. Mendadak wanita tua itu kembali mendapatkan tenaganya kembali. Gairah yang ia rasakan seperti dulu sebelum Dampu Awang, putranya, pergi.
"Dampu Awaaaaaang!" teriak sang ibu sekali lagi.
Semua perhatian terpusat pada Ibu Dampu Awang yang dari tadi berteriak-teriak. Semua heran, apa betul wanita tua dekil ini adalah ibu dari saudagar yang kaya raya itu.
"Kang Mas, apa betul dia ibumu?" tanya istri Dampu Awang. "Mengapa Kang Mas tidak pernah cerita, kalau orang tua Kang Mas masih hidup'?"
"Tidak! Wanita tua itu bukan ibuku!" tampik Dampu Awang dengan cepat. "Dia hanya seorang wanita gila yang sedang meracau!"
Dari  atas kapal Dampu Awang menatap kerumunan penduduk yang wajahnya tampak kebingungan.
"Wahai penduduk Banten!" seru Dampu Awang. "Tidak usah bingung. Dia bukan ibuku. Kedua orang tuaku sudah mati. Mereka adalah manusia terhormat yang kaya raya. Bukan seperti wanita tua itu yang berpakaian compang camping dan miskin sengsara!"
Perkataan Dampu Awang tadi bagai petir di siang bolong. Seperti ada godam besar yang menghujam berkali-kali ke sanubari Ibu Dampu Awang. Perasaannya lebih sakit dibanding saat kematian suaminya atau saat melepas putranya berlayar.
"Hei, wanita tua gila!" Dampu Awang menunjuk ibunya. "Aku tidak pernah mempunyai ibu sepertimu. Demi Allah, ibuku adalah seorang yang kaya raya, bukan seorang wanita miskin yang hina sepertimu!"
Luka yang ditorehkan oleh ucapan Dampu Awang itu semakin membesar. Menganga di dalam hati sang ibu. Sang ibu tertunduk lesu. la bersimpuh di atas kedua lutut keriputnya.
"Nakhoda, cepat kita pergi dari sini. Batalkan janji bertemu dengan Sultan. Kita akan lanjutkan perjalanan!" Dampu Awang memerintah. la harus lekas pergi sebelum orang-orang tahu kalau wanita tua yang dekil itu adalah ibu kandungnya. Mau ditaruh di mana mukaku, ujarnya dalam hati.
Sang ibu tertunduk lesu. Air matanya semakin tidak terbendung. Harapan, kebahagian, kegembiraan, suka cita, yang telah dihimpunnya selama puluhan tahun, kini seolah semuanya telah menguap tanpa bekas. Penantiannya selama puluhan tahun harus berakhir dalam kesakithatian yang semakin mendalam.
"Duhai, Gusti. Hampura dosa," Ibu Dampu awang berdoa. "Kalau memang benar dia bukan anakku, biarkan ia pergi. Tapi kalau dia adalah putraku, hukumlah ia karena telah menyakiti perasaan ibunya sendiri." Ibu Dampu Awang khusyuk berdoa. Khidmat.
Tiba-tiba langit gelap. Awan-awan hitam datang tanpa diundang. Berkumpul menjadi satu kesatuan. Hitam dan besar. Hingga sinar matahari pun tidak mampu lagi terlihat. Siang hari yang cerah mendadak seperti malam yang gelap gulita. Petir. Kilat. Guntur. Saling sambar menyambar. Hujan deras.
"Ada badai. Cepat berlindung!" teriak seorang warga.
Langit muntah. Langit muntah. Muntah besar. la menumpahkan segala yang dikandungnya. Dunia serasa kiamat. Dampu Awang beserta kapalnya terombang-ambing di lautan. Dipermainkan oleh alam. Allah telah menjawab rintihan seorang hamba yang didzalimi. Para awak kapal ketakutan, mereka ramai-ramai menerjunkan diri ke laut. Petir menyambar galangan kapal dan layar. Tiang-tiang kapal tumbang.
Tiba-tiba keajaiban terjadi. Si Ketut bisa bicara. "Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang."
"Tidak! Dia bukan ibuku! Dia bukan ibuku. Ibuku telah mati!" sergah Dampu Awang.
"Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang" si Ketut mengulangi ucapannya.
"Ya Allah, berilah pelajaran yang setimpal sebagaimana yang ia lakukan padaku," Ibu Dampu Awang kembali berdoa.
Angin puyuh besar pun datang. Meliuk-liuk ganas di atas laut. Menyedot dan terus berputar. Kapal Dampu Awang ikut tersedot. Kapal Dampu Awang terbang masuk ke dalam pusaran angin puyuh. Berputar-putar. Terus berputar dalam pusaran angin puyuh.
"lbuuuuuu, tolong aku! Ini anakmu Dampu Awang!" Dampu Awang berteriak ketakutan.
Sang Ibu tetap tidak bergeming.
Kapal yang berisi segala macam harta kekayaan itu dipermainkan oleh angin. Berputar-putar. Dan akhirnya terlempar jauh ke selatan. Jatuh terbalik.
Menurut penuturan masyarakat, kapal Dampu Awang yang karam berubah menjadi Gunung Pinang. Gunung itu terletak tepat di samping jalur lalu lintas Serang - Cilegon, kecamatan Kramat Watu, kabupaten Serang, propinsi Banten. Hingga kini, setiap orang dengan mudah dapat menyaksikan simbol kedurhakaan anak pada ibunya itu.




 



ASAL MUASAL BATU KUWUNG
Oleh Endang Rukmana


DAHULU pernah hidup seorang saudagar kaya raya yang mempunyai hubungan sangat erat dengan kekuasaan Sultan Haji. anak dari Sultan Ageng Tirtayasa. Karena kedekatannya tersebut, sang Saudagar mendapat hak monopoli perdagangan beras dan lada dari Lampung. Tak ayal, usahanya pun maju pesat.
Harnpir semua tanah pertanian di desa-desa yang berdekatan dengan tempat tinggal sang Saudagar menjadi miliknya. la membeli tanah-tanah tersebut dari para petani dengan harga yang rendah. Biasanva setelah petani-petani tersebut tidak mampu lagi mernbayar hutang dengan bunga yang beranak-pinak dan sudah habis jatuh tempo kepada sang Saudagar.
Selain itu, sang Saudagar diangkat menjadi seorang kepala desa di ternpat tinggalnya. Tetapi ia menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan dengan memungut pajak yang lebih tinggi dari tarif yang diharuskan. Karena kekayaan dari kekuasaannya itu, ia menjadi orang yang sangat sombong dan seringkali bertindak sewenang-sewenang.
Sang Saudagar juga sangat kikir. Apabila ada orang, lain tertimpa musibah dan membutuhkan pertolongan, ia sama sekali tidak mau memberikan bantuan. Bahkan saking pelitnya, ia tidak mau menikah meskipun umurnya telah berkepala empat. Baginya. menikah dan memiliki anak adalah suatu pemborosan.
la hidup bermewah-mewahan, sedangkan orang-orang di sekitarnya dirundung kemiskinan, sehingga sangat beralasan, jika hampir semua penduduk desa membencinya. Untuk melindungi harta dan nyawanya saja, ia memelihara beberapa orang pengawal pribadi.
Syahdan, suatu hari di desa tempat tinggal sang Saudagar kaya raya itu, lewatlah seorang sakti yang menyamar sebagai seorang pengemis lapar dengan kaki pincang. Sebelumnya, Orang Sakti ini sudah tahu mengenai perangai buruk sang Saudagar, dikarenakan keburukannya sudah jadi obrolan rutin penduduk, di pasar atau di warung-warung kopi. la datang ingin memberi pelajaran dan menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir tersebut.
Maka, si Pengemis berkaki pincang yang tidak lain adalah seorang sakti itu mampir menemui sang Saudagar di rumahnya yang besar dan mewah. Si Pengemis mengutarakan maksudnya menemui sang Saudagar untuk meminta sedikit makanan pengganjal perut dan sedikit kekayaan sebagai modal usaha.
Tetapi sang Saudagar memang sangat kikir. Bukannya memberi, ia malah memaki-maki si Pengemis berkaki pincang.
"Hal pengemis hina, apa kau pikir kekayaan yang kumiliki sekarang ini jatuh begitu saja dari  langit, heh?! Enak saja kau meminta-minta kepadaku, dasar pemalas!" hardik Sang Saudagar seraya mendorong tubuh si Pengemis berkaki pincang, hingga jatuh tersungkur mencium tanah.
Mendapat perlakuan seperti itu, si Pengemis berkaki pincang pun murka. la memperingatkan bahwa sang Saudagar akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya.
"Hai Saudagar yang sombong dan kikir, kau pun harus merasakan betapa lapar dan menderitanya aku!" ujar si Pengemis berkaki pincang. Setelah berkata demikian, segera si Pengemis berkaki pincang raib dari pandangan mata. Melihat kejadian tersebut sang Saudagar terkejut bukan main.
Benar saja. Esok hari ketika sang Saudagar bangun dari tidur, ia tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan kakinya, tetapi tetap saja tidak bisa. Sang Saudagar pun panik. la bertenak-teriak histeris. Para pengawal pribadinya segera berdatangan mendengar teriakan sang Saudagar tersebut.
Jadilah sang Saudagar menderita kelumpuhan pada kedua kakinya. la memerintahkan kepada pengawal pribadinya mencari tabib-tabib sakti untuk mengobati kakinya yang lumpuh. Ia menjanjikan imbalan yang sangat tinggi bagi slapa saja yang dapat menyembuhkannya.
Namun, meski sudah banyak tabib berusaha mengobati, tak satu pun yang berhasil. Oleh sebab itu ia pun berjanji akan memberikan setengah dari harta kekayaannya bagi siapa saja yang dapat menyembuhkannya dari kelumpuhan.
Si Pengemis berkaki pincang mendengar janji tersebut. Maka ia pun datang menemui sang Saudagar dan menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi sebab kelumpuhan kaki sang Saudagar.
"Semua ini adalah ganjalan atas sifatmu yang kikir dan sombong. Agar kakimu sembuh dari kelumpuhan kau harus melaksanakan tiga hal. Pertama, kau harus bisa merubah sifat sombong dan kikirmu itu.
Kedua, kau harus pergi ke kaki Gunung Karang dan carilah sebuah Batu Cekung. Lalu bertapalah kau selama tujuh hari tujuh malam di atas Batu Cekung tersebut, tanpa makan dan minum. Dan ingat, apa pun yang akan terjadi jangan sampai kau membatalkan pertapaan yang kau jalani.
Ketiga, apabila kakimu sudah sembuh seperti biasa, kau harus memenuhi janjimu untuk merelakan setengah dari harta kekayaan tersebut kepada orang-orang miskin di tempat tinggalmu". Setelah berkata demikian, lagi-lagi si Pengemis berkaki pincang tersebut raib begitu saja dari pandangan mata. Sang Saudagar pun sadar bahwa si Pengemis berkaki pincang tersebut bukan orang sembarangan.
Kemudian berangkatlah sang Saudagar dengan menggunakan tandu yang digotong oleh dua orang pengawal pribadinya, menuju ke kaki gunung Gunung Karang. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan melewati jalan setapak yang dikelilingi semak belukar dan pepohonan yang lebat, akhirnya sang Saudagar tiba di kaki Gunung Karang dan melihat sebuah Batu Cekung yang dimaksud si Pengemis berkaki pincang.
Karena perjalanan yang sangat melelahkan dan dilakukan tanpa istirahat, kedua orang pengawal pribadi sang Saudagar jatuh pingsan. Padahal Batu Cekung tersebut tinggal beberapa puluh langkah lagi jaraknya.
Terpaksa, dengan bersusah payah sang Saudagar merayap di tanah untuk mencapai Batu Cekung tersebut. Lalu ia pun segera bertapa di atasnya. Selama tujuh hari tujuh malam ia menahan rasa lapar dan haus karena tidak makan dan minum, juga bertahan dari bermacam-macam godaan lainnya, seperti binatang-binatang liar dan makhluk-makhluk halus yang datang mengganggu.
Pada hari terakhir pertapaan, keajaiban pun terjadi. Dari pusat Batu Cekung tersebut menyemburlah sumber mata air panas. Sang Saudagar menyudahi tapanya, lalu bersegera mandi dengan sumber mata air panas dari  Batu Cekung tersebut. Keajaiban terjadi lagi, kedua kakinya yang semula lumpuh kini dapat ia gerakkan kembali.
Seperti janjinya semula, maka sang Saudagar membagi-bagikan setengah dari harta kekayaannya kepada orang-orang miskin di sekitar tempat tinggalnya. Para petani di desanya diberikan tanah pertanian sendin untuk digarap. la juga kemudian menikahi seorang gadis cantik anak seorang petani miskin, yang menarik hatinya. Penduduk desa pun tidak lagi membencinya, ia kemudian dikenal sebagai seorang saudagar yang dermawan.
Apabila ada orang bertamu ke rurnahnya, sang Saudagar kerap kali bercerita, perihal keajaiban sumber mata air panas Batu Cekung di kaki Gunung Karang yang dapat menyembuhkan kelumpuhan kakinya. Lambat laun cerita dari mulut ke mulut itu pun tersebar luas. Banyak orang yang tertarik untuk mendatanginya. Konon, beberapa macam penyakit lain dapat sembuh apabila mandi dengan sumber mata air panas Batu Cekung tersebut.
Kini, orang-orang mengenalnya sebagai objek wisata sumber mata air panas "Batu Kuwung" (yang berarti batu cekung). Objek wisata yang belum dikelola secara profesional ini, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Padarincang, Ciomas, berlatar belakang kaki Gunung Karang.






LEGENDA PRASASTI MUNJUL
Oleh Malvin Dwi Ruda


Perairan Ujung Kulon
SEBUAH perahu nelayan berpenumpang tiga orang tampak melaju pelan membelah pantai yang berair tenang. Siang itu matahari bersinar tak terlalu terik sehingga angin yang bertiup pun terasa tak terlalu menyengat.
"Dengan hasil tangkapan sebanyak ini, kita bisa istiraltat satu dua hari di darat." Salah seorang nelayan mengungkapkan kegembiraan hatinya sambil menimang-nimang ikan hasil tangkapan mereka, senyumnya tampak begitu cerah.
"Ya," jawab kawan yang ada di sebelahnya, "Ini kesempatanku untuk bisa lebih lama berkumpul dengan isteriku."
"Tiap pulang, aku merasa istriku kian cantik saja dibanding ikan apa pun!" sambut nelayan pertama lagi. Sementara Itu. lelaki pendayung yang berada di belakang kedua temannya tampak menguping perbincangan kedua temannya itu. Wajahnya tampak begitu polos dan dengan lugunya dia mengajukan pertanyaan menyela pembicaraan kedua orang itu.
"Apa sih yang kalian bicarakan?"
Kedua temannya mendengar jelas pertanyaan dari lelaki pendayung namun mereka menganggapnya sepi dan terus saja melanjutkan pembicaraan mereka.
"Kau tahu? Aku bahkan sudah menyiapkan kuda laut!" kata orang kedua. Dan disambut dengan penuh minat oleh orang pertama.
"Wah? Kau menangkapnya? Boleh minta satu?"
Belum sempat orang kedua menjawab pertanyaan itu, lelaki pendayung yang merasa tak diacuhkan dengan tampang tak bersalah kembali mengajukan pertanyaan.
"Apa ada hubungannya antara ikan dengan istri kalian?"
Pertanyaan lelaki pendayung kali ini mendapat reaksi, bahkan lebih dari yang dia bayangkan. Kedua temannya memandang ke arahnya sambil bersama-sama berkata-kata dengan suara keras. "Diam kau, Perjaka!"
Kedua temannya memandang lelaki pendayung dengan alis berkerut, tampaknya mereka sudah merasa terganggu dengan pertanyaan lelaki pendayung. Adapun halnya dengan lelaki pendayung sendiri, demi melihat reaksi kedua temannya yang demikian itu, dia hanya bisa merungkut gugup sambil menggigit batang dayung. Dia hanya berkata-kata dalam hati dengan penuh ketidakmengertian. "Kenapa mereka marah" Rasanya tak ada yang salah dengan perkataanku."
Kedua teman lelaki pendayung lalu kembali melanjutkan perbincangan mereka dan membelakanginya. Dengan wajah kesal lelaki pendayung membuang muka dan mengumpat dalam hati. "Sombong! Mentang-mentang aku belum punya isteri"
Pantai berpasir putih tempat mereka menyandarkan perahu sudah terlihat. Perahu mereka kini melaju meyusuri sepanjang tepian pantai sebelum akhirnya tiba di tempat tujuan. Namun saat mereka tiba di sebuah tikungan pantai yang terlindung oleh pepohonan lebat, muncul sebuah perahu lain dari balik tikungan itu. Mula-mula hanya bagian depan kapal yang terlihat dan lama kelamaan terlihatlah seluruh bagian kapal itu. Kapal itu tidak terlalu besar namun bila dibanding dengan perahu ketiga orang orang itu, ukurannya tiga kali lebih besar, lengkap dengan tiang layar dan empat dayung di masing-masing sisinya.
Kapal yang muncul tiba-tiba itu seketika mengagetkan kedua teman lelaki pendayung. Jarak mereka terlalu dekat dan mungkin sekali akan terjadi tabrakan bila tidak segera dibelokkan arahnya. Keduanya berseru kaget. "I... itu! "
Dengan tergagap, mereka berteriak pada lelaki pendayung. "Belokkan perahu! Belokkan perahu!"
Adapun lelaki pendayung, kejadian tadi masih membuatnya kesal. Dengan acuh tak acuh dia berpura-pura tak mendengar teriakan gugup temannya. Sambil memandang ke lain arah dan memejamkan mata, dia asyik bersiul-siul. Lelaki pendayung bermaksud hanya ingin membalas sikap kedua temannya tadi yang tidak mengacuhkannya, namun balasannya ini tampak terlalu berlebihan, seharusnya dia mendengar dan bisa membedakan antara perkataan biasa dengan teriakan-teriakan gugup. Dan mungkin apabila dia melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi, sikapnya itu pasti akan sangat disesalinya kelak.
Tabrakan akan segera terjadi, kedua teman lelaki pendayung sudah tak sempat lagi untuk berteriak-teriak kepada lelaki pendayung atau pun melakukan perbuatan lain. Bahkan untuk menghindar dan menyelamatkan diri saja mereka sudah tak ingat. Mereka merungkutkan badan dan menanti dengan pasrah segala yang akan terjadi. Namun di saat-saat genting itu, kapal yang ada di depan mereka tiba-tiba membelokkan perahunya dan tabrakan pun terhindar. Kapal itu melaju searah dan berdampingan dengan perahu ketiga nelayan itu. Dan sebelum ketiga nelayan itu menyadari, beberapa utas tali melayang dari arah kapal itu. Lelaki pendayung masih asyik bersiul-siul dan tak menyadari kalau seutas tali telah melayang di dekatnya. Tali itu tiba-tiba mendarat di tubuhnya dan berputar ke arah leher. Lelaki pendayung terkejut dan melihat apa yang tengah menjalar di lehernya, namun dia tak sempat berbuat apa-apa. Karena saat dia sadar dan tahu apa yang melilit lehernya, tali yang pada ujungnya diikatkan sebuah pemberat dari kayu itu tiba-tiba ditarik dengan kencang ke atas. Lelaki pendayung tercekik dan tubuhnya terangkat mengikuti arah tarikan tali. Sementara itu, tali-tali yang lain tampak melilit dan mengikat di beberapa bagian perahu. Perahu tertarik ke samping dan membuat posisinya agak miring. Kedua teman lelaki pendayung tahu dan sadar apa yang tengah terjadi pada perahu mereka namun mereka belum mengerti apa maksud dari  semua itu. Mereka lalu memandang ke arah kapal di samping perahu mereka dan mencari-cari kalau-kalau ada seseorang yang dapat ditanyakan.
Pencarian mereka segera terjawab. Di sana, di atas kapal, di bawah sorotan matahari siang, sesosok tubuh tampak berdiri santai dan tampak tengah mengawasi mereka. Kedua nelayan mengangkat tangan untuk menghalangi silaunya sinar matahari saat mereka memandang ke atas, ke arah kapal tempat sosok tubuh itu berada. Saat itu terdengar sosok itu berkata-kata kepada mereka.
"Banyak juga tangkapan kalian! Kalian pasti tengah memikirkan kesenangan sehingga tak menyadari kehadiran kami!"
Sambil memicingkan mata, salah satu nelayan memberanikan diri mengajukan pertanyaan."Siapa kalian dan mau apa?"
Sosok itu menjawab sambil berkacak pinggang dan menepuk dada. "Kami adalah perompak! Dan kami senang sekali mengganggu kesenangan orang!" Saat itu sosok itu merendahkan dan memajukan tubuhnya sehingga wajahnya kini dapat terlihat oleh para nelayan. Sosok yang mengaku perompak itu bertubuh tinggi besar. Dia mengenakan baju sebatas pangkal lengan, baju itu terbuka dan tak menutupi dadanya yang bidang dan berotot dengan bulu-bulu lebat, sementara sebuah kalung besar berwarna kuning emas tampak menggantung di depan dadanya. Di bagian bawah, dia hanya mengenakan selembar kain sebatas pertengahan paha.
Wajahnya yang ditumbuhi kumis tebal melintang dan jenggot lebat tak terurus tampak bengis saat berkata-kata. Dengan rambut panjang sebahu dan sebelah anting besar berwarna kuning emas juga, dilengkapi secarik kain ikat kepala melilit keningnya dengan salah satu bagian menutup mata sebelah kiri.
"Serahkan milik kalian kalau ingin selamat!"
Dua nelayan tak bisa berkata-kata, tapi tiba-tiba saja terdengar suara lantang menyambut ucapan perompak itu. "Enak saja! Susah payah kami mencari ikan di laut lalu kalian ingin memintanya begitu saja? Huu!"
Semua mereka menoleh ke arah suara. Tampak lelaki pendayung dengan wajah kesal memandang ke arah perompak itu. Dia tampak terlentang dengan leher terikat tali. Dengan geram dia menarik-narik tali itu dengan tangan dan kakinya membuat tubuhnya yang kurus itu tertekuk sedemikian rupa dan malah jadi terlihat lucu. Perompak itu memicingkan mata. Dia lalu membuang muka ke arah lain dengan acuhnya.
"Kalau begitu, kembalilah ke laut dan bersusah payahlah lagi!"
Usai berkata begitu, dengan tenang perompak bertubuh katai itu menyentakkan tali yang mengikat lelaki pendayung. Lelaki pendayung kontan melotot dengan leher terjulur karena tercekik. Tubuhnya terangkat dari perahu dan melayang ke depan lalu masuk ke dalam air.
Seorang perompak bertubuh katai melongok dari dinding kapal. "Ooh! Mungkin ini artinya `berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu lalu berenang mati-matian', yaaa?!"
Sementara itu, tanpa membuang waktu, perompak bertampang seram tadi segera memberi perintah kepada perompak-perompak lainnya. "Ayo pindahkan ikan-ikan mereka ke kapal kita!"
Para perompak segera bergerak mengikuti perintah itu. Seorang perompak bertubuh jangkung dan kurus menggamit lengan perompak bertubuh katai."Ayo!"
Dengan lagak angkuh, si perompak bertubuh katai mengacungkan telunjuknya di depan wajah. "Diamlah! Kalau itu, aku sudah tahu artinya!"
Tapi mendadak, seorang perompak yang berada di bagian belakang kapal bertenak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah. "Ketua! Lihat di sebelah sana!"
Semua menoleh ke arah yang ditunjukan oleh orang itu, dan di kejauhan, tampaklah sebuah perahu yang berukuran dua kali lebih besar dari  kapal itu tengah melaju tenang berlawanan arah dengan kapal mereka. Seketika, perompak bertampang bengis yang dipanggil ketua itu melonjak-lonjak sambil menari kegirangan.
"Wah! Ini baru tangkapan besar!"
Perompak katai menyilangkan tangan di depan dadanya sambil berkata angkuh. "Tak masalah bagiku!"
Dengan penuh semangat, ketua memberi perintah baru kepada anak buahnya sambil menunjuk ke arah kapal besar tadi. "Marl kita rusak kesenangan mereka!"
Seorang perompak bertubuh gemuk menarik tali yang tadi mengikat si pendayung. "Maaf, yah! Jangan marah! Talinya kami ambil kembali!" Dia menyentakkan tali itu dan seketika leher si pendayung terbebas sudah dari jeratan tali itu. Sambil berenang, lelaki pendayung menarik nafas lega. Dia segera menuju perahunya dan berpegangan di tepi perahu. Namun seketika itu juga, kedua temannya segera mengambil kesempatan untuk kabur. "Cepat kita pergi!" Tanpa menunggu lelaki pendayung naik kembali ke perahu, mereka segera mendayung perahu itu dengan cepat sementara yang satunya lagi mendayung dengan menggunakan kedua tangannya. Lelaki pendayung dengan kelabakan berteriak-teriak kepada teman-temannya. Dia memegang tepi perahu dengan kencang saat perahu mulai melaju. Air laut bercipratan ke wajah lelaki pendayung.
Sementara itu, di kapal besar yang berbendera dengan lambang naga, seorang pria bertubuh agak gemuk dengan pakaian bangsawan kerajaan keluar dari bagian dalam kapal. Saat itu seorang pria lain tampak menghampiri sambil menundukan tubuhnya.
"Ada apa, Laksamana?" tanya bangsawan itu. Yang ditanya menjura dulu sebelum akhirnya menjawab. "Ada dua perahu di depan kita, Sang Menteri!"
Sang Menteri meninggikan kepalanya memandang ke depan. Lalu katanya lagi. "Biarkan saja! Tapi bila mereka berbuat sesuatu yang mencurigakan, kau tahu apa yang harus dilakukan!" Laksamana menjura lagi. "Hamba, sang Menteri"' Sang Menteri mengangguk lalu memandang lagi ke depan, kemudian dia berjalan masuk kembali ke bagian dalam kapal.
Beberapa lama kemudian, kedua perahu saling berdekatan dan berpapasan. Para perompak berdiri di sisi kapal mereka. Para pendayung yang berada di kapal besar melongok ke rah mereka sambil mengangguk ramah. Salah seorang pendayung tampak berbisik kepada temannya. "Tampang mereka aneh-aneh, yah?" Temannya mengangguk dan melongok pula. Sambil mengangkat tangan dengan senyum lebar, dia menyapa perompak itu. "Hai, para nelayan! Apa kabar?"
Baru saja habis berkata-kata, seutas tali tiba-tiba melayang ke arah lehemya. Belum sempat dia menyadan hal Itu, tali sudah ditarik orang dan dan membelit ke arah leher dan kemudian disentakan. Seketika si pendayung ini tercekik dengan lidah terjulur dan tubuhnyan tertarik pula ke depan. Lelaki pendayung tercebur ke dalam laut. Yang menarik tali itu adalah perompak bertubuh gemuk. Saat berhasil menceburkan lelaki pendayung, perompak katai bertanya padanya. "Apa itu artinya: tak ada basa-basi bagi perompak?"
Yang ditanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jari. "Betul!"
Laksamana bertanya marah kepada perompak itu. "Hei! Apa yang kalian lakukan?"
Ketua perompak menjawab. "Kami adalah perompak yang menguasai perairan ini. Disambut oleh perompak bertubuh katai. "Betul!"
Laksamana berkata lagi. "Tahukah kalian? Kapal ini adalah milik kerajaan Tarumanegara! Dan di dalamnya ada seorang menteri Kerajaan!"
Ketua perompak membuang muka sambil berkata acuh. "Tidak peduli!"
Disambut kembali oleh si katai. "Itu artinya: kami akan tetap merampok kapal kalian!"
Baru habis kata-kata itu, si ketua perompak memberi perintah kepada anak buahnya. "Seraaaaaang!"
Melihat hal itu, sang Laksamana mencabut kerisnya dan memberi perintah pula kepada para awak kapalnya. "Pertahankan kapal dan lindungi sang Menteri sampai titik darah terakhir!"

Beberapa minggu kemudian.
Tampak dua orang tengah memancing di tepi pantai. Keduanya mengenakan pakaian seperti umumnya orang-orang pada masa itu, yaitu sehelai kain polos yang diikatkan di pinggang dan hanya menutupi tubuh bagian bawah. Orang yang bertubuh tinggi besar dan berparas cakap dengan rambut tergerai sebatas pundak tampak menyentakan pancingnya. "Dapat lagi!" katanya. Tak jauh di sampingnya temannya yang bertubuh jauh lebih kecil dan jauh lebih pendek dengan rambut digelung ke atas hanya bisa memandang dengan kesal. "Huh!" Tapi mendadak wajahnya berubah cerah. Dia merasa pancingnya ditarik. "Nah! Setelah sekian lama. akhirnya kau makan juga umpanku!" Dia bersiap-siap untuk menarik pancingnya. Temannya yang bernama Bhimaparakrama atau biasa dipanggil Bhima, mendekat dan bertanya.
"Ada apa, Wamana? Ada yang memakan umpanmu?"
Yang ditanya menjawab sombong. "Tentu! Kau kira cuma kau saja?"
Wamana lalu mulai menarik. Tapi dirasanya keras. Wamana menariknya lebih kencang namun tak juga berhasil. Dengan mengerahkan tenaganya lebih keras lagi pancing itu ditariknya, tapi hasilnya tetap sama. Bhima mendekat dan bertanya lagi. "Kenapa? Ada masalah?"
Wamana terus menarik pancingnya. "Berisik! Lihat saja, tangkapanku pasti jauh lebih besar dari semua yang sudah kau dapat!" Wamana lalu menyentakkan pancingnya. Kali ini dia berhasil. Tapi tiba-tiba Bhima menutup mulutnya sambil menahan tertawa.
"Pantas saja keras sekali! ternyata memang besar! Hahaha!"
Wamana kesal sekali karena sikap temannya itu, lalu dia melihat ke mata pancingnya dan seketika dia terkejut. Seekor kepiting tampak menggantung di sana. Bukan ikan seperti apa yang dikiranya. "Hah?"
Dengan geram, Wamana mengangkat dan memutar-mutar pancingnya. Tak puas dengan itu, dia lalu membanting pancingnya dan berjalan mendekat ke arah Bhima. Lalu tanpa basa-basi lagi dia segera mengangkat pancing Bhima untuk kemudian dihempas-hempaskannya ke air. Melihat ulah Wamana, Bhima hanya bisa berteriak-teriak melarang. "Hei! Hei! Jangan ganggu kailku!"
Pada saat itu, Bhima mendengar air berkecipak. Dia mencan-cari sumber suara itu, dan tak berapa jauh dari tepi pantai, terlihat sesuatu terombang-ambing mengapung di atas air. Dia menajamkan pandangannya, lalu setelah yakin kalau yang terombang-ambing bukan hanya sekedar kayu atau onggokan benda tak berarti lainnya, dia menggapai ke arah Wamana. "Wamana! Berhenti! Lihat di sana!"
Wamana tidak perduli. "Masa bodoh! Tidak maul"
"Tampaknya ada orang hanyut! Aku mau menolongnya!" kata Bhima sambil berjalan ke arah pantai sementara Wamana melanjutkan marahnya. Bhima turun ke air dan menghampiri benda yang terapung itu. Begitu dekat, ternyata dugaannya tepat. Seseorang tampak tertelungkup di atas tameng kayu. "Benar! Orang hanyut! Masih hidup atau ...."
Bhima mengangkat kepala orang itu. Dia merasakan kalau orang tersebut masih menghembuskan nafas. "Dia masih hidup!"
Bhima mengangkat orang itu untuk segera memberi pertolongan, namun dia melihat tameng yang dipakai orang hanyut itu. Seketika dia terkejut. Bhima berubah pikiran, dia meletakan tubuh orang ke atas tameng. Lalu dengan tenaga yang luar biasa, dia mengangkat orang itu lagi berikut tamengnya dengan menggunakan sebelah tangan.
Wamana melihat temannya menghampiri namun dia tetap acuh tak acuh sambil duduk di pinggir pantai. Lalu didengarnya Bhima berkata. "Ini prajunt kerajaan Tarumanegara, Wamana! Kita harus membawanya ke istana!"
Wamana menutup wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Bagus! Sempurnalah sudah kesialanku!"

Istana Kerajaan Tarumanegara
Sang Purnawarman tampak duduk di singgasananya dihadapi para pembesar kerajaan saat menerima berita yang disampaikan oleh prajuntnya yang kini duduk di hadapannya didampingi Wamana dan Bhimaparakrama.
Wajah sang Purnawarman terlihat murung. "Betul-betul kejam dan biadab!" Berulang-ulang dia menarik napas resah sambil sekali-sekali mengguman. "Malang sekali nasib menteriku serta para pengawalnya!"
Seperti berkata pada diri sendiri, sang Purnawarman terus saja menggumam. "Padahal para perompak itu sudah diingatkan bahwa kapal itu adalah milik kerajaan. Tapi tetap tak diperdulikan dan mereka tetap merampoknya!"
Sang Purnawarman menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa saat lamanya dia tenggelam dalam diam. Namun mendadak sekali wajahnya terlihat mengeras saat dia mengangkat kepalanya lagi sambil menepuk pangkal sandaran singgasana dengan agak keras.
"Baiklahl Aku harus melakukan tindakan tegas untuk masalah ini!"
Semua yang hadir menundukan kepala saat sang Purnawarman bangkit dari singgasana dan berdiri menyebar pandangan ke arah para bawahannya.
"Demi keamanan dan kelancaran perairan di wilayah kerajaan Tarumanegera ...."
Semua yang hadir kian dalam tertunduk saat sang Purnawarman melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih lantang. Tangan kiri memegang dada sementara yang kanan direntangkan lebar.
"Dengan ini, aku nyatakan perang terhadap bajak laut! Dan aku sendiri yang akan mernimpin penyerangan
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Bagian Gelap Bulan Maga (Januaril Februari) tahun 321 Caka (403 Masehi), sang Purnawarman melancarkan perang terhadap bajak laut yang merajalela di perairan barat dan utara.
Puluhan kapal perang kerajaan berbaris meninggalkan pelabuhan kerajaan Tarumanegara. Di bagian depan Kapal terbesar, dengan pakaian besinya, berdiri dengan gagahnya Sang Purnawarman didampingi sang Panglima Cakrawarman dan Sang Senopati Sarwajala, Nagawarman.

Beberapa hari kemudian, di tengah lautan.
Malam telah lama melewati puncaknya. Langit gelap tanpa bi ntang dan tanpa cahaya rembulan. Yang ada hanyalah kegelapan yang pekat dan mencekam. Namun di kejauhan, seperti hampir sejajar dengan garis cakrawala, tampak dua buah titik cahaya kecil yang terayun-ayun di tengah lautan. Kiranya cahaya itu berasal dari dua buah kapal yang agak besar yang tengah melempar sauh. Dilihat dari dekat, hanya satu dari dua kapal itu yang masih menandakan adanya kegiatan. Dan dari kapal itu, sayup-sayup sampai terdengar suara orang berkata-kata dibawa angin yang berhembus timbul tenggelam.
"Kalah lagi! Sudahlah! Lebih baik aku tidur saja."
Dari sekian banyak awak kapal, hanya tiga orang yang masih terbangun. Mereka berkumpul membentuk setengah lingkaran di antara puluhan orang lain yang berbaring di sana-sini. Di bawah penerangan sinar lampu damar yang samar, mereka menghadapi selembar kulit bergambar beberapa jenis hewan laut yang dihamparkan di lantai kapal. Salah seorang dari  mereka memegang sebuah cangkang kelapa yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai mangkuk yang sudah dihaluskan. Perangkat seperti itu merupakan sebuah alat untuk permainan judi pada masa itu. Di dekatnya, di depan masing-masing orang, berceceran sejenis mata uang logam yang digunakan untuk memasang taruhan.
Saat itu, lelaki yang memegang cangkang kelapa tampak berkata pada temannya. "Jangan marah begitu! Ayo pasang sekali lagi! Kali ini pasti dapat! Udang? Kepiting? Keong?"
Yang diajak bicara malah melongok keluar jendela.
"Sejak sore tadi kau bilang begitu! Dan ini sudah hampir pagi!"
"Siapa tahu kalau sekarang saat kemujuranmu tiba?" sahutnya lagi.
Tapi orang yang satu itu malah merebahkan diri sambil sebelumnya berkata dengan suara yang agak keras. `Maimah sendiri."
Tiba-tiba, kawan-kawan mereka yang tengah tertidur mendadak terjaga dan muka kesal mereka semua serempak berteriak kepada mereka yang masih terjaga. "Berisik! Kalian mau kami rampok?"
Mereka yang bermain seketika merungkut. Tapi mendadak mereka dikagetkan oleh suara-suara desingan yang begitu ramai. Dan sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, dinding kapal tempat di mana mereka saat itu berada, tiba-tiba ditembus oleh mata tombak-mata tombak yang menyembul masuk hingga ke bagian dalam. Para perompak itu kaget setengah mati. Salah seorang dari mereka bertindak cepat dan melompat ke arah jendela untuk melihat keluar dan mencari tahu apa yang tengah terjadi, mendadak, dia tersurut.
Beberapa puluh meter dari kedua kapal bajak laut, terlihat lampu-lampu yang berjejer membentuk lingkaran mengelilingi kedua kapal itu. Sekilas, memang terlihat indah. Tapi yang membuat salah seorang bajak laut itu tersurut adalah bukan karena keindahan itu, melainkan karena setelah dia mengawasi lebih jelas dan menyadari bahwa lampu-lampu itu berasal dari kapal-kapal kerajaan. Dan kini kapal-kapal itu telah mengepung mereka dengan rapat. Dengan wajah pucat dan gemetaran, salah seorang bajak laut Itu berkata lemas pada teman-temannya.
"Kita -- telah-dikepung"'
Sementara itu, di salah satu kapal terbesar dari armada kapal kerajaan yang saat itu memang telah mengepung dua kapal bajak laut. Sang Purnawarman, Sang Senopati Sarwajala dan Sang Panglima Cakrawarman tengah menanyai salah seorang prajurit dari pasukan pengintai.
"Prajurit. betulkah ini kapal-kapal bajak laut itu?"
Prajurit itu menjura.
"Betul. Sang Senopat'!"
Sang Purnawarman mengangguk-angguk.
"Kalau begiitu, beri aba-aba untuk menyerang, Paman Senopati!"
"Baik. Sang Prabu!"
Senopatt Sarwajala memberi aba-aba kepada peniup terompet untuk segera membunyikannya sebagai tanda untuk mengawali penyerangan. Peniup terompet menjura lalu mulai meniup.
Nguuungggg!
Suara terompet menggema di tengah lautan, para pemimpin pasukan di tiap-tiap kapal segera memberi perintah kepada pasukannya.
"Tembak!"
Seketika, ratusan tombak dan panah dilepaskan. Kilauan mata tombak dan panah dalam kegelapan tampak begitu menggidikkan saat meluncur cepat mencari sasaran. Suara-suara kayu hancur dan jeritan orang-orang yang terkena tombak dan panah itu tumpang tindih berbaur menjadi satu saling atas mengatasi membuat suasana yang tadinya sepi dan tenang berubah menjadi hiruk pikuk. Tak ada perlawanan yang berarti. Sebelum matahari muncul di ufuk timur, gerombolan bajak laut itu sudah dapat ditaklukan. Mereka yang menyerah dijadikan tawanan oleh pasukan kerajaan Tarumanegara.
Saat itu, Wamana bersama Bhima dan para prajurit lain tengah berada di kapal bekas milik para bajak laut untuk mencari sisa-sisa gerombolan yang mungkin masih bersembunyi. Setelah lama mencari dan tak bertemu, mereka akhirnya mengakhiri pencarian. Saat akan meninggalkan kapal bajak laut itu untuk kembali ke kapal mereka masing-masing, tiba-tiba telinga Wamana menangkap sebuah suara yang mencurigakan.
Wamana menghentikan langkahnya. Suara itu terdengar begitu samar dan hanya terdengar sekali saja, tapi Wamana terasa begitu yakin kalau itu bukamah suara gesekan kayu atau semacamnya. Wamana berniat hendak memanggil Bhima, tapi Bhima terlihat sudah berada agak jauh darinya. Dengan penasaran, Wamana masuk kembali ke bagian dalam kapal sambil mengendap-endap. Dalam keremangan cahaya lampu yang bersinar lemah, Wamana menajamkan pandangannya dan mencari. Namun walau bagaimanapun telitinya Wamana mencari, tetap saja dia tak menemukan apa yang dicarinya, jangankan manusia, kecoa pun tak tampak di sana. Dengan kecewa, Wamana melangkah keluar dari ruangan itu. Tapi mendadak, suara itu terdengar lagi. Tak terlalu keras memang, tapi itu sudah cukup memberi petunjuk kepada Wamana untuk mengetahui arah dari ruangan itu. Wamana merebahkan tubuhnya sejajar dengan lantai ruangan, dengan cermat dia mulai meraba. Dan wajah Wamana mendadak berubah cerah saat tangannya merasakan ada celah tipis pada lantai yang tampaknya rata itu. Suara engsel yang lama tak diberi pelumas segera terdengar saat Wamana mengangkat dan mencongkel celah tipis yang berfungsi sebagai penutup itu dengan menggunakan ujung pedangnya. Cahaya lemah menembus ke dalam lubang yang menganga di bawahnya. Wamana terdiam sebentar. Dia berpikrr dan menimbang-nimbang.
"Apakah aku harus masuk ke sana.' Tapi sendirian? Amankah? Atau..."
Terdengar suara desiran pelan dari balik kegelapan lubang yang menganga itu. Wamana membentak.
"Siapa itu?"
Tak ada jawaban. Wamana mengulang pertanyaannya.
"Siapa itu? Jawab atau kupanggilkan para prajurit lain!"
Mehdadak sekali, seraut wajah muncul di ambang lubang. Wamana terkejut dan jatuh terduduk, tapi dia segera menguasai dirinya.
"Siapa kau? Apakah kau anggota gerombolan bajak laut itu`'"
"Bukan! Aku adalah prajurit kerajaan!"
"Apa yang kau lakukan di dalam sana? Aku tak percaya! Naiklah ke sini agar aku bisa melihatmu dengan jelas! Dan awas, jangan mencoba untuk berbuat macam-macam!"
"Aku sedang buang air kecil! Tunggulah sebentar, aku akan naik!"
Wamana mengerenyitkan kening. "Apa tidak salah?"
Orang itu naik. Wamana melihat orang tersebut memang berseragam prajurit kerajaan Tarumanegara. Namun tiba-tiba Wamana mundur sambil menutup hidung. Prajurit itu melihat reaksi Wamana tapi dia terus melangkah mendekati. Wamana terus mundur hingga akhirnya punggungnya membentur dinding.
Wamana mengangkat tangannya. "Cukup! Jangan maju lagi! Kau amis sekali!"
Prajurit itu tersenyum dan terus maju, tetapi begitu dekat dengan Wamana, dia tiba-tiba membelokkan arahnya ke pintu keluar. Wamana mengintip melalui sela jari-jarinya dan dia menarik napas lega. Tapi itu hanya sesaat, karena selanjutnya dia melihat prajurit itu berjalan ke tepi kapal dan langsung terjun ke dalam air. Wamana berteriak memanggil. "Hei, jangan!"
Terlambat. Karena beberapa detik kemudian dari bawah kapal terdengar suara sesuatu yang masuk ke dalam air. Wamana berlari mengejar dan memanggil-manggil dengan perasaan bersalah. "Prajurit! Jangan marah! Aku tak bermaksud menghinamu! Keluarlah dari dalam air dan naiklah! Aku tak tahu kalau kau begitu cepat putus asa!"
Saat itu, Bhima dan beberapa prajurit yang juga mendengar suara tadi sudah tiba di sisi Wamana. "Ada apa, Wamana? Suara apa tadi? Apa ada yang tercebur?"
Wamana mengangguk sedih. "lya. Seorang prajurit!"
Tanpa banyak berkata lagi, Bhima langsung meloncat terjun ke dalam air. Beberapa saat lamanya Bhima menyelam mencari-cari, tapi dia tak menemukan seorang pun di bawah sana. Karena penasaran, Bhima mencari hingga dasar samudera namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya Bhima muncul kembali ke permukaan. "Tak ada seorang pun di bawah sana!".
Wamana tersengguk dan mulai menangis. Beberapa prajurit yang ada di sampingnya berusaha membujuknya.
Sementara itu, Sang Purnawarman beserta para panglima tengah menanyai satu dari sekian bajak laut yang berhasil ditawan. "Mana pimpinan kalian?"
Yang ditanya menggeleng. "Kami tak tahu."
Panglima Cakrawarman mendekati bajak laut. "Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa?"
Bajak laut itu menjura dengan penuh ketakutan. "Tapi kami memang benar-benar tidak tahu!"
Sang Purnawarman berkata lagi. "Baiklah. Bila benar pemimpinmu itu tak ada di sini. Tapi, untuk memastikan apakah pemimpinmu itu masih hidup atau sudah mati, aku ingin kau katakan bagaimana ciri-cirinya!"
Seketika dan tanpa berpikir panjang lagi, bajak laut itu menjawab.
"Dia berbau amis dan berpenyakit asma!"
Panglima Cakrawarman membentak."Jangan main-main! Kau kira dia itu ikan? Yang kami maksud ciri-ciri itu adalah bagaimana sosok pemimpinmu sebenarnya!"
Dengan ketakutan, bajak laut menjawab. "Susah untuk mengatakannya. Dia selalu berganti rupa sehingga sulit untuk menjelaskan ciri dari sosoknya!"
Sang Panglima membentak lagi. "Cukup! Kau telah mempermainkan Sang Prabu dan akan mendapat hukuman yang setimpal karenanya!"
Bajak laut merungkut ketakutan. "Tapi memang itulah yang sebenarnya!"
Sang Panglima memberi isyarat agar bajak laut itu segera dibawa pergi. Bajak laut berusaha meyakinkan agar kata-katanya dapat dipercaya, tapi dua prajurit segera menghampiri dan membawanya pergi. "Ampun, Sang Prabu! Kami tidak berbohong! Itulah yang sebenarnya! Ampuni kami!"
Selanjutnya dari 80 orang bajak laut, sebagian terbunuh dalam penyerangan oleh armada Kerajaan Tarumanegara sedangkan sisanya sebanyak 52 orang dapat ditawan. Lalu, seorang demi seorang, bajak laut yang ditawan itu dibunuh dengan berbagai cara dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut.
Matahari baru saja muncul. Sinar keemasan mewarnai angkasa. Suasana yang teduh dan sejuk mengiringi armada kapal kerajaan Tarumanegara yang telah tiba di Pantai Teluk Lada. Kapal-kapal ini melaju menyusuri aliran sungai Cidangiang dan masuk ke pedalaman. Penduduk bersorak menyambut kedatangan pasukan kerajaan yang baru saja berhasil menumpas gerombolan perompak yang biasa menghantui dan berkeliaran mengganggu keamanan penduduk setempat.
Sang Purnawarman dan para panglimanya turun dan kapal dan disambut oleh tetua kampung setempat sedangkan para prajurit diizinkan turun ke darat untuk sekedar melepas lelah dan beristirahat setelah sekian lama berada di lautan dan berperang semalaman. Bhima dan Wamana tampak bergabung dengan penduduk setempat. Mereka berbincang-bincang dan saling bertukar cerita. Saat itu, Wamana yang sedang tertawa-tawa, tiba-tiba terdiam. Matanya mendelik dan cuping hidungnya bergerak-gerak. Lalu dia berdiri dengan tiba-tiba sambil menoleh ke sana kemari. Bhima dan yang lainnya menjadi heran melihat perubahan sikap Wamana itu. Wamana berjalan ke sana kemari sambil bertingkah seperti mencium-cium ke segala arah.
Beberapa orang yang melihatnya saling berpandangan dengan heran. Saat kembali ke tempat semula, Wamana seperti tampak tengah berpikir keras. Alisnya berkerut tajam sementara kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggumam. "Aneh!"
Bhima tak dapat menahan rasa ingin tahunya. "Ada apa denganmu, Wamana?"
Wamana masih saja bertingkah sama. "Aneh!"
"Apanya yang aneh, hei?" Tanya Bhima lagi sambil mencolek lengan Wamana.
"Aku seperti mencium bau yang sama."
"Bau? Bau apa?"
"Bau prajurit yang tadi malam kulihat tercebur ke laut!"
Kali ini Bhima ikut mengerutkan kening. "Jangan bercanda, Wamana. Kau maksud prajurit yang tadi malam tenggelam itu?"
Wamana mengangguk cepat. "Iya"
"Bukankah kau lihat sendiri, aku tak dapat menemukannya walaupun sudah kucari hingga ke dasar laut. Apa mungkin dia selamat? Mungkinkah dia sudah lebih dulu naik ke kapal tanpa kita mengetahuinya?"
"Mungkin. Tapi saat kucari-cari aku tak melihat seorang pun yang bahkan mirip dengannya, apalagi dirinya."
"Kau tidak melihatnya, tapi kau dapat mencium baunya. Apa kau pikir yang datang tadi itu adalah hantunya" Mana mungkin, ini sudah siang, banyak orang lagi!"
"Lalu, bau apa atau siapa yang tadi kucium? Sayang, bau itu sudah keburu hilang sebelum aku sempat berbuat lebih banyak!"
"Bau ini, Wamana. Bau seperti apakah yang kau cium?"
"Amis"
Bhima mulai tcrsenyum. "Amis? Maksudmu seperti bau ikan" Bukankah itu wajar mengingat tempat ini adalah tepian pantai dan juga perkampungan nelayan?"
Wamana dengan mimik serius tetap mempertahankan keyakinannya.
"Bukan, Bhima. Aku kenal betul bau ini!"
Saat itu, Sang Senopati Sarwajala berdiri di tengah-tengah kampung dan memanggil para prajurit untuk berkumpul karena ada pengumuman yang hendak disampaikannya. Setelah itu, dia pun mulai angkat bicara.
"Segenap penduduk dan prajurit Tarumanegara. Ada hal penting yang akan kami sampaikan atas perintah Sang Prabu Purnawarman. Dari hasil pembicaraan antara Sang Prabu dan Tetua Kampung ini, maka terciptalah suatu rencana untuk mengabadikan peristiwa keberhasilan membasmi gerombolan perompak yang selama ini telah mengusik keamanan di perairan ini dan juga sebagai ungkapan terima kasih dari  Sang Prabu atas kesediaan masyarakat di sekitar sungai Cidangiang untuk bersama-sama saling membantu menjaga ketentraman di perairan ini demi kepentingan bersama-sama Juga. Sudah sepantasnya kerajaan dan masyarakatnya saling bahu membahu demi kemajuan negara. Dan akhirnya, semua keberhasilan ini tidak akan terjadi tanpa dukungan dan bantuan serta kerjasama antara kerajaan dengan masyarakat".
Kalimat sang Senopati itu disambut dengan tempik sorak dari segenap prajurit dan penduduk. Kemudian, diperintahkan para prajurit serta penduduk setempat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara para lelakinya bekerja, para wanita memasak makanan untuk dihidangkan nanti. Suasana di kampung itu menjadi begitu ramai. Puluhan kerbau dikumpulkan di tengah tanah lapang untuk disembelih dan sebagian lagi untuk dihadiahkan kepada penduduk.
Saat tiba waktu makan siang, para lelaki yang bekerja beristirahat dan mencari tempat yang teduh untuk bernaung dan melepas lelah. Anak-anak penduduk berlarian rnembawakan air minum di dalam kendi-kendi tanah dan potongan-potongan barnbu. Tak lama kemudian. para wanita datang membawakan santapan untuk makan siang. Para pekerja langsung menyambut dan mulimkan dengan lahap.
Di pondok kediaman sang Tetua kmpung dimana para panglima dan sang Purnawarman berada, hidangan telah pula diantarkan oleh para wanita. Di dekat anak tangga pondok sang Tetua kampung, tampak Bhim dan Wamana berbaur dengan para pekerja lainnya dan tengah menyantap hidangan. Wamana tampak makan dengan lahap hingga remah-remah makanan bertempelan di sekitar mulut dan pipinya. Dari barisan para wanita yang membawakan hidangan ke pondok Tetua kampung, tampak seorang gadis muda cantik di antrian paling belakang. Dengan lenggang lenggoknya yang gemulai, dia melemparkan senyum manisnya kepada para pekerja sambil mengapit dua buah kendi air di tangan kanan-kirinya. Tiba di tangga pondok, gadis itu melirik sekilas pada Wamana yang masih sibuk dengan makanannya. Tapi beberapa saat setelah gadis itu melewati tangga, Wamana tiba-tiba terhenyak. Dia menghentikan suapan ke mulut dan berhenti mengunyah. Kepalanya terangkat dan matanya terbuka lebar. Beberapa helaan napas Wamana terpaku, cuping hidungnya bergerak kembang-kempis. Bhima yang melihat sikap Wamana itu bertanya.
"Ada apa Wamana? Kau tersedak? Makanya, kalau makan jangan terlalu lahap!" Wamana seperti tak mendengar pertanyaan Bhima. Dia malah memegang lengan Bhima dengan kencang.
"Bhima, kau cium bau itu?"
"Bau apa?" tanya Bhima sambil menajamkan penciumannya. ",Aku tak mencium bau apa-apa selain bau daging yang kita makan, dan bau keringatmu!"
Wamana tiba-tiba meletakkan makanannya dan bangkit berdiri sambil bercelingukan dia bertanya kepada Bhima dengan terburu-buru.
"Siapa orang yang terakhir lewat dekat kita?"
Bhima mengangkat bahu sambil menoleh ke sekeliling. "Kau lihat sendiri, mereka semua sedang makan. Sama seperti kita. Kecuali..."
"Kecuali siapa?" desak Wamana dengan bernafsu.
"Para wanita yang mengantarkan hidangan ke dalam Pondok ini. T api kenapa?"
Tanpa rnenghiraukan pertanyaan Bhima lagi, Wamana segera bergerak cept ke dalam pondok. Dia melompati anak tangga dengan langkah-langkah lebar.
'Mau apa" dia masuk ke dalam? Bisa-bisa dia akan mengganggu selera makan orang-orang yang ada dI sana!"
Berpikir demikian, Bhima segera bangkit menyusul Wamana.
Di dalam pondok, para wanita yang membawakan makanan telah mulai keluar satu per satu. Mereka berpapasan dengan Wamana. Dan mereka kaget karena Wamana memandang mereka dengan tajam sambil mendekatkan wajahnya ke tubuh para wanita itu. Para wanita memandang heran sambil melanjutkan keluar dari dalam pondok. Wamana masuk ke bagian dalam ruangan di mana Tetua kampung, Sang Purnawarman dan para Panglima tengah berkumpul dan bersiap-siap untuk menyantap makanan yang telah dihidangkan. Di sana dia melihat hanya tinggal satu orang wanita yang tengah menaruh kendi air di atas lantai. Semua yang ada di dalam, kecuali si wanita, melihat kedatangan Wamana. Tapi Wamana malah menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Dengan berjingkat dia berjalan mendekati si wanita dari belakang. Sang Purnawarman serta para Panglima yang telah mengenal Warnana dan sudah tahu bagaimana sifatnya, hanya terdiam sambil tersenyum melihat tingkah Wamana itu.
Tepat pada saat si wanita selesai meletakkan kendi dan bangkit berdiri, Warnana melompat dan menerkam tubuh si wanita. Tubuh wanita itu terdorong dan terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh Wamana. Dengan bemafsu Wamana berseru sambil menekan kepala si wanita ke lantai. "Kena kau sekarang!"
Lalu kaki Wamana bergerak menendang dua kendi air yang tadi dibawa si gadis dengan keras sehingga terpental dan pecah. "Air itu telah dicampur racun!"
Tetua kampung hanya terbengong melihat kejadian itu. Sang Panglima Cakrawarman menegur Wamana. "Wamana, apa yang kau lakukan? Apa kau tak memandang Sang Prabu dengan berbuat keributan seperti ini? Kali ini, leluconmu tidaklah lucu!"
Dengan masih sambil menekan kepala si gadis, Wamana menjawab ucapan Sang Panglima.
"Memang tidak lucu, karena hamba memang tak bermaksud bercanda. Tapi apakah Yang Mulia semua tidak merasa terganggu dengan bau amis ini?"
Seketika yang ada di dalam ruangan mengendus-ngendus.
"Bau amis? Aku memang baru membauinya. Tapi kukira itu hanyalah aroma dari masakan ini saja. Lalu kenapa?" tanya Sang Purnawarman.
Wamana tidak segera menjawab. Tapi dia malah memukul punggung gadis itu dengan keras hingga si gadis terbatuk-batuk dengan payah dan nafas tersengal-sengal.
"Bagaimana pula dengan ini?" tanya Wamana lagi.
Semuanya saling berpandangan tak mengerti akan apa yang dimaksud Wamana.
"Mengapa kau memukulnya sekeras itu? Apa salahnya sehingga kau begitu kasar pada seorang wanita?"
Pada saat itu Bhima pun masuk ke dalam ruangan. Dia menjura saat Sang Purnawarman dan para Panglima menoleh ke arahnya.
"Ampun, Sang Prabu. Maafkan sikap hamba dan kawan hamba ini bila telah berbuat lancang di hadapan Sang Prabu!"
Sang Purnawarman mengangguk. "Aku tak mengerti. Apa yang terjadi dengan Wamana, Bhima. Dia seperti kehilangan kendali."
"Ampun, Sang Prabu. Hamba pun tidak tahu. Tapi izinkamah hamba mengurusnya."
Sang Purnawarman mengangkat tangan mempersilahkan. Bhima kemudian menghampiri Wamana. Tapi baru beberapa langkah, Wamana berseru kepada Bhima.
"Diam di tempatmu, Bhima!"
Langkah Bhima seketika terhenti. "Tapi kau telah lancang di hadapan sang Prabu, Wamana. Ayolah, mari kita keluar saja dan lepaskan gadis yang tidak bersalah itu!"
"Bhima, kau ingat kejadian di kapal tadi malam saat kau menyelami laut untuk mencari seorang prajurit yang tenggelam?" Bhima mengangguk. "Kau masih ingat tadi pagi dan barusan saat kukatakan kalau aku mencium bau amis?" Bhima mengangguk lagi.
"Bagus," kata Wamana. "Sekarang, mendekatlah kemari!"
Bhima menurut saja. Dia melangkah perlahan menghampiri Wamana. Tapi beberapa jengkal dari  Wamana, Bhima menghentikan langkahnya sambil menahan nafas. Wamana tersenyum karenanya.
"Nah, bau apa yang barusan kau cium?"
Bhima mengerutkan kening. "Amis!"
"Tepat!" kata Wamana. Lalu katanya lagi kepada Sang Prabu. "Hamba dan Bhima memang tidak hadir saat Sang Prabu menanyai salah seorang bajak laut tadi malam. Tapi dari cerita yang hamba dengar dari salah seorang prajurit yang hadir pada saat itu, bukankah si bajak laut mengatakan ciri-ciri dari pemimpin mereka" Ciri-ciri yang benar-benar tepat, walaupun tidak dipercayai dan dianggap mengada-ada!"
Saat Itu, Sang Purnawarman serta para Panglima tersentak. Mereka semua memandang pada gadis yang ada di bawah tubuh Wamana. "Aku ingat itu. Tapi apakah mungkin gadis seperti dia dapat memimpin gerombolan perampok yang kejam itu"?
Wamana menggeleng cepat. "Ciri-ciri itu juga dikatakan oleh bajak laut itu. Bukankah katanya pemimpinnya itu pun seringkali berganti-ganti rupa?"
Sang Prabu mengangguk- angguk mengerti.
"Kalau begitu, mari kita hukum dia! Tak peduli bagaimana pun wujud dia yang sebenarnya!" kata Sang Panglima.
Tapi tiba-tiba, Wamana merasakan tubuhnya terangkat dan kulit wanita yang tadinya mulus kini berubah kasar dalam genggamannya. Seketika Wamana menoleh ke bawah. Dan dia terkejut saat melihat bagaimana tubuh wanita yang tadi ditindihnya telah hilang dan kini berubah menjadi sosok yang besar, jauh lebih besar bahkan dari tubuhnya sendiri. Belum sempat Wamana berbuat sesuatu, sosok itu tiba-tiba meronta dengan keras. Wamana yang bertubuh kecil tak dapat bertahan. Pegangannya terlepas dan tubuhnya terlempar ke belakang. Sang Prabu dan para Panglima yang juga melihat perubahan-perubahan itu segera bangkit dari  duduknya karena terkejut, begitu juga dengan Bhima. Sosok tinggi besar itu kini bangkit sambil menggeram marah. Kini terlihatlah sosok pemimpin bajak laut itu yang sebenamya. Dia memandang marah pada orang-orang di sekelilingnya. Melihat itu, dengan ketakutan Wamana melompat mundur ke arah pintu keluar dan berlindung di balik tubuh Bhima. "Bhima! Tolong aku!"
Para Panglima segera bergerak mengelilingi Sang Prabu untuk menjaga segala kemungkinan buruk yang dapat mengancam keselamatan Sang Prabu.
"Kau tidak akan bisa keluar dari sini, Perompak! Menyerahlah!" Sang Senopati membentak.
"Dan membuat kalian senang dengan merighukumku?" tanya si pemimpin. "Tidak!" jawabnya lagi sambil menggeleng-geleng. "Tapi kalian semua telah mengganggu kesenanganku. padahal kalian tahu kalau aku ini adalah perompak yang bekerja untuk mengganggu kesenangan orang! Aku ingatkan kalian kalau kalian belum sadar, itu terbalik, tahu?"
"Kau tahu apa kesalahan terbesarmu?" tanya Sang Purnawarman.
"Apa ya ?" Si perompak menggelengkan kepala.
"Kau telah merampok dan membunuh salah seorang menteri dari kerajaan Tarumanegara! Itu adalah kesalahan tak terampuni!" kata sang Purnawarman lagi sambil menuding ke arah perompak.
"Aku tak butuh ampunan dari  siapapun! Dan bila aku ingin merampok, jangankan seorang menteri, seorang raja sekalipun akan tetap kurampok bila aku memang menginginkan!" Kalimat terakhir diucapkan perompak dengan sangat bersemangat. Karenanya, tiba-tiba memegang dadanya sambil berusaha menarik napas dengan payah. Melihat hal itu, Sang Senopati mengira kalau perompak itu lengah. Maka dengan segera dia melompat menyerang si perompak. Tapi dugaan sang Senopati salah, karena si perompak justru dapat dengan mudah menghindari serangan itu dan bahkan membalasnya. Terjadi pertempuran sengit di dalam pondok tetua kampung. Para penduduk dan prajurit telah mendengar keributan di dalam pondok dan mereka semua datang berkerumun di sekeliling tempat itu. Beberapa saat kemudian, rupanya perompak itu lebih tangguh dibanding sang Senopati. Pertempuran sengit kembali terjadi. Namun kembali terbukti bahwa si perompak memang benar-benar tangguh. Sang Panglima pun kembali terdesak hebat hingga akhirnya dia mundur menjauhi si perompak. Demi melihat kedua panglimanya tak berdaya menghadapi perompak itu, Sang Purnawarman sendiri akhirnya turun tangan. Tapi para panglimanya mengllalangi.
"Jangan, Sang Prabu! Lebih baik kita menyingkir dari sini! Dia terlalu tangguh buat kami! Kami tak ingin keselamatan Sang Prabu terancam!"
Perompak tertawa terkekeh-kekeh melihat hal tersebut. Kesombongannya pun timbul.
"Tak usah berebut, Kalau mau, kalian semua boleh majumenyerangku! Aku senang-senang saja"
Sungguh sangat meremehkan kalimat si perompak itu. Sang Purnawarman merasa dihina dan ditantang. Lalu dia menepis tangan para panglima yang melindunginya. Tapi kemudian terdengar suara seseorang berkata:
“Izinkan hamba menghadapinya. Sang Prabu tak perlu turun tangan!”
Sang Purnawarman menoleh danmelihat Bhima tengah menjura kepadanya. Seperti orang baru sadar dri suatu lamunan, Sang Purnawarman tersentak lalu tersenyum gembira.
"Ah. Bhima. Aku begitu termakan oleh kesombongan perompak ini sampai-sampai tak menyadari keberadaanmu di sini!"
"Dia memang sakti, Sang Prabu. Tapi kesombongannya justru seperti melebihi kemampuannya itu sendiri. Dengan izin dan restu dari Sang Prabu serta para Panglima semua, hamba akan mencoba melawannya!"
"Dengan senang hati, Bhima. Mungkin hanya kaulah yang mampu menghadapinya. Semoga berhasil!"
Bhima lalu melangkah tenang mendekati si perompak yang masih dengan sambil tertawa-tawa mencibirkan mulutnya ke arah Bhima.
"Heli, rupanya Tarumanegara sudah kehabisan Panglima andalannva sehingga harus menyerahkan tanggung jawab kepada bocah bongsor ini!"
Bhima terus mendekat.
"Bocah, jangan karena kau merasa tubuhmu tinggi besar lalu kau mengira akan dapat mengalahkanku! Lebih baik kau mundur dan biarkan aku menghabisi rajamu, maka kau akan kubiarkan hidup!"
Bhima tak menjawab ejekan si perompak. Dia terus saja melangkah menghampiri si perompak yang menjadi heran karena sikap Bhima itu. Tepat pada saat Bhima tinggal beberapa depa lagi darinya, si perompak dengan kesal menyerang Bhima. Pukulan si perompak tepat menghantam dada Bhima. Bhima tak bergeming lalu dengan secepat kilat Bhima mengulurkan tangan ke arah si perompak. Tahu-tahu, leher si perompak telah dicekik oleh tangan Bhima yang kokoh. Si perompak meronta-ronta sambil memukul dan menendangi tubuh Bhima, Bhima malah mengangkat tangannya ke atas sehingga tubuh si perompak ikut terangkat pula ke atas. Si perompak mulai tercekik pernapasannya, matanya melotot sementara tangan dan kakinya terus saja memukuli dan menendangi Bhima. Dari mulutnya dia mengeluarkan suara serak tak jelas apa yang dikatakannya. Wajah si perompak kian memerah. Perlahan-lahan gerakannya yang meronta-ronta mulai mengendur. Saat itu Bhima menurunkan tubuh si perompak dan melepaskan cekikannya. Tubuh si perompak meluruk ke lantai dengan lemah, dia memegangi lehemya dengan wajah kesakitan sambil terbatuk-batuk. Pada saat itu, Sang Panglima melambai pada beberapa orang prajurit yang tengah menyaksikan kejadian itu.
"Ringkus dial"
Para prajurit segera melakukan perintah itu. Mereka menghampiri si perompak dan mengamankannya, kali ini dia tak lagi melawan. Begitu juga saat para prajurit membawanya pergi dari pondok itu. Dia hanya bisa memandang heran dan tak mengerti pada Bhima. Untuk kesekian kalinya, Sang Purnawarman dan Para Panglima menghaturkan terimakasih kepada Bhima dan Wamana atas jasa mereka yang telah menghindarkan Sang Purnawarman beserta para Panglimanya dari bahaya yang mengancam mereka.
Tak lama kemudian, Sang Purnawarman memerintahkan agar perompak itu dibawa ke tengah laut untuk menerima hukuman seperti yang diterima oleh para anak buahnya sebelumnya. Kini sempurnalah sudah penumpasan mereka terhadap para bajak laut yang selama ini menjadi momok yang menakutkan bagi para pelaut.
Sementara itu, acara pengabadian keberhasilan penumpasan gerombolan bajak laut segera dimulai. Bentuk pengabadian itu diwujudkan dalam sebuah prasasti yang terletak di tepi sungai Cidangiang, Sang Purnawarman rnenuliskannya dalam aksara Pallawa bahasa Sansekerta yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Vikrantayam vanipateh
Prabbhuh satyaparakramah
Narendraddhvajabutena crimatah
Purnnavarmmanah

((Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur Purnawarman)

Prasasti itu berada di tepi sungai Cidangiang, di desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang sekarang.



 


PANGERAN PANDE GELANG DAN PUTRI CADASARI
Oleh Zaenul Muttaqien


DI tengah sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk termenung. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang bermuram durja.
Tidak jauh dari  tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh baya dengan karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat sang Putri. Wajah lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.
"Sampurasun," sapanya.
Sang Putri tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya, sehingga tidak menyadari kehadiran lelaki itu.
"Sampurasun," Lelaki itu mengulang sapa.
"Ra... rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"
"Maaf jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu seraya menundukkan kepalanya.
Sang Putri tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki yang berdiri di hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun legam. Namun Putri merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah manggis: hitam dan pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.
"Sedari tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana. Ada apa gerangan?"
"Saya kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada orang lain."
"Kalau begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap Tuan Putri berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu seraya hendak berlalu.
"Tunggu, Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.
Lelaki itu mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.
"Sekali lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya menyinggung perasaan Kisanak, apalagi menganggap rendah."
Beberapa saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang Putri menangis.
Lelaki itu duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang besar tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Siapa nama Kisanak?" tanya sang Putri.
"Saya... saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya dengan sebutan Ki Pande."
"Baiklah, Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya akan menghilangkan penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan masalah ini kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka. Tidak akan ada seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"
"Saya hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"
Ki Pande tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati dipenuhi rasa iba.
"Nama saya Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.
Menurut Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran bernama Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis dan kejam. Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti mandraguna. Apa pun yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa berbantah.
"Saya sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai istrinya," Putri Arum mengakhiri ceritanya.
"Saya ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata. "Maafkan saya, karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu Putri."
"Saya mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara Pangeran Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit yang saya terima benar adanya."
"Wangsit?" tanya Ki Pande.
"Ya. Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis ini. Kelak katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi pekertinya, dan sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian ini hampir sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa saya kawin dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab setelah sekian lama, dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah manggis itu ternyata tak kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.
Mendengar hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada yang tengah dipikirkannya.
"Oh, tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membantu saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.
"Benar," jawab Ki Pande.
"Itu berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk saya!" seru Putri Arum, penuh harap.
"Barangkali itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.
"Katakan saja, Ki," Putri Arum penasaran.
"Saya hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran Cunihin itu."
"Apa Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang sangat saya benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.
Ki Pande sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap tenang. "Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."
"Dengan syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.
"Ya, dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."
"Hal apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti mandraguna. Laut saja bisa dikeringkannya!"
"Yakinlah, Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki Pande berusaha meyakinkan Putri Arum.
"Kalau begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"
"Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui manusia. Kemudian batu tersebut harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus dikerjakan tidak lebih dan tiga hari," Ki Pande menjelaskan.
"Bukankah syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran Cunihin?"
"Tapi tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu keramat, setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."
"Setelah itu"" tanya Putri Arum.
"Serahkan semuanya kepada saya!"
Mendengar seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujui. Ki Pande kemudian mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil membawa karung yang berisi alat-alat membuat gelang.
Perjalanan menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum. Sudah hampir setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di atas sebuah batu cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn Arum ke rumah salah seorang penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Salah seorang tetua kampung mengatakan bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.
Beberapa orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas. Dan keajaiban pun terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang berasal dari batu cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan sebutan baru yaitu Putri Cadasari.
Sementara itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia membuat gelang yang sangat besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande, gelang tersebut akan dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat Pangeran Cunihin.
Waktu yang ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang menemui Putri Cadasari dan menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat kepada Pangeran Cunihin.
"Hahaha, itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat itu?" tanya Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu, Pangeran. Duduk di atas batu sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.
"Wah, Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin, pula.
Tak sampai tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin berhasil menemukan batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian dibawanya ke sebuah pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari diam-diam mengkuti dari kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi, menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Cunihin.
Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi penuh, Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba tangan Pangeran Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat besar tercipta di tengah batu keramat itu.
"Hahaha, aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!" Pangeran Cunihin mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar pada batu keramat yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak bersembunyi, tapi didengarnya sebuah bentakan keras.
"Heh tua bangka, sedang apa kau di sini?!"
Ternyata Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri Cadasari.
"0, aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku pernah mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau hanya pantas menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas. "Lihatlah, sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi memilikinya!"
Putri Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah telah mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab, Pangeran Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat yang telah berlubang itu.
"Tuan putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah batu besar berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan romantis," kata Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan kegembiraan, w alau di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya menjadi pendamping Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.
"Apa karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu ini telah berlubang?" kata Putri Cadasan.
"Hm, baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu ini untuk membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati lubang batu keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit luar biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri. Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi seorang pemuda tampan.
"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti menyaksikan keanehan-keanehan itu.
"Sebenarnya ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi setelah mendapat kesaktian dari  guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian saya, lalu menjadikan saya sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian mencari kesaktian untuk mengembalikan keadaan saya. Ternyata hanya satu yang bisa mengembalikan keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati gelang-gelang buatan saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah Pangeran Cunihin yang terkulai tak berdaya.
"Kini saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa Tuan Putri. Untuk itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande Gelang, menggenggam tangan Putri Cadasari.
"Ah, sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata wangsit yang saya terima itu memang benar."
Akhirnya, keduanya meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa waktu kemudian mereka pun menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.
Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan kampung Kramatwatu, dan batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal dengan nama Karang Bolong. Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit di bukit manggis, kini orang mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis dalam bahasa Sunda berarti Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri disembuhkan dari sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang, tempat Pangeran Pande Gelang membuat gelang. 


 

HIKAYAT TANJUNG LESUNG
Oleh Suharyanto


SYAHDAN, pada zaman dahulu kala ada seorang pengembara dari Laut Selatan bernama Raden Budog. Suatu hari, setelah lelah bermain di tepi pantai, Raden Budog beristirahat di bawah pohon ketapang laut. Angin semilir sejuk membuat Raden Budog terlena. Perlahan matanya terpejam. Dalam tidumya Raden Budog bermimpi mengembara ke utara dan bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik. Hati Raden Budog terpesona oleh kecantikannya. Tanpa disadarinya, kakinya melangkah mendekati gadis itu yang tersenyum manis kepadanya. Dilihatnya tangan gadis itu diulurkan kepadanya. Raden Budog pun mengulurkan tangannya hendak menyambut uluran tangan gadis itu. Tapi betapa terkejutnya dia... seranting kering pohon ketapang mengenal dahinya. Raden Budog terperanjat dan terbangun dari tidurnya. Dengan perasaan kesal diraihnya ranting itu dan dibantingnya keras-keras. "Ranting keparat!" gerutunya. "Kalau ranting itu tidak jatuh maka aku bisa menikmati mimpi indahku."
Berhari-hari bayangan mimpi itu tidak pernah bisa hilang dari ingatan Raden Budog. Lalu diputuskannya bahwa dia akan pergi mengembara. Raden Budog pun segera menyiapkan perbekalan untuk pengembaraannya. "Cek...cek...cek..., kita akan mengembara, sayang," kata Raden Budog mengelus-elus anjing kesayangannya yang melonjak-lonjak dan menggonggong gembira seolah mengerti ajakan tuannya.
Raden Budog lalu menghampiri kuda kesayangannya. "Kita akan mengembara jauh, sayang. Bersiap-siaplah." Raden Budog membelai-belai kudanya yang meringkik gembira. Kemudian Raden Budog menyiapkan golok dan batu asah yang selalu dibawanya ke mana saja dia mengembara.
Setelah semuanya dirasa siap, Raden Budog segera menunggang kuda kesayangannya, berjalan ke arah utara. Di pinggangnya terselip golok panjang yang membuatnya tampak gagah dan perkasa. Sedangkan tas anyaman dari kulit terep berisi persediaan makanan, terselempang di bahunya. Sementara itu anjing kesayangannya berjalan di depan, mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya. Anjing itu kadang menggonggong menghalau bahaya yang mengancam tuannya.
Lima hari perjalanan telah ditempuhnya. Walaupun begitu Raden Budog belum juga mau turun dari kudanya. Dia juga tidak menyadari badannya sudah lemah karena perutnya kosong, begitu pula kudanya. Pikirannya cuma terbayang-bayang pada mimpinya di tepi pantai itu. "Kapan dan di mana aku bisa bertemu gadis itu?" gumamnya dalam hati.
Raden Budog terus memacu kudanya menapaki jalan-jalan terjal dan mendaki hingga tiba di Gunung Walang yang sekarang ini menjadi kampung Cimahpar. Tiba-tiba kudanya roboh. Raden Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun karena sudah sama-sama lemah, Raden Budog dari kudanIva berguling-guling di lereng gunung. Anjing kesayangannya menggonggong cemas meningkahi ringkik kuda. Raden Budog segera bangun, sekujur badannya terasa lemah dan nyeri.
Sejenak Raden Budog istirahat di Gunung Walang. Dia membuka bekalnya dari makan dengan lahap. Sementara itu kudanya mencari rumput segar sedangkan anjingnya berlarian kian kemari memburu mangsanya, seekor burung gemak yang berjalan di semak-semak.
"Ayo kita berangkat lagi!" Raden Budog berteriak memanggil kuda dan anjingnya. Namun dilihatnya pelana kuda itu ternyata telah robek. Dengan terpaksa Raden Budog menanggalkan pelana itu dan memutuskan untuk meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki karena dia tidak biasa menunggang kuda tanpa pelana. Mereka terus rnelangkah hingga tibalah di suatu tempat yang tinggi. Tali Alas namanya yang sekarang disebut Pilar. Dari tempat inilah Raden Budog dapat melihat laut yang biru membentang dengan pantainya yang indah.
Raden Budog kemudian melanjutkan perjalanan ke pantai Cawar. Begitu sampai di pantai yang indah itu Raden Budog segera berlari dan terjun ke laut, berenang-renang gembira. Perjalanan yang begitu melelahkan Iitu seolah lenyap oleh segarnya air pantai Cawar. Di muara sungai Raden Budog membilas tubuhnya. lalu dicarinva kuda dan anjing kesayangannya untuk meneruskan pengembaraan.
"Ayo kita berangkat lagi!" seru Raden Budog ketika dilihatnya kuda dan anjing kesayangannya itu sedang duduk di tepi pantai.
Tidak seperti biasanya, kuda dan anjing kesayangannya itu diam saja seolah tak perduli ajakan tuannya. Raden Budog merasa heran. "Cepat berdiri! Ayo kita berangkat"' Seru Raden Budog lagi.
Tapi kedua binatang itu tetap duduk saja, tak bergerak sedikit pun. Anjing dan kuda itu tampak sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang, sehingga sekadar untuk berdiri pun tak sanggup lagi.
"Aku harus segera menemukan gadis pujaanku. Kalau kalian tidak mau menuruti perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian di sini!" teriak Raden Budog sambil meneruskan perjalanan, meninggalkan anjing dan kuda kesayangannya. Namun kedua binatang itu tetap tidak bergeming dan menjelma menjadi karang. Sampai sekarang di pantai Cawar terdapat karang yang menyerupai kuda dan anjing sehingga disebut Karang Kuda dan Karang Anjing.
Maka Raden Budog melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Dalam benaknya telah ada kesayangan lain yang ingin segera ditemukannya. Gadis pujaan yang muncul dalam mimpinya itu benar-benar memenuhi benaknya, sehingga goloknya pun tertinggal di Batu Cawar. Kini Raden Budog hanya membawa tas dari kulit terep beserta batu asah di dalamnya. Sesampainya di Legon Waru, Raden Budog kembali merasakan kelelahan. Sendi-sendi tubuhnya terasa lunglai. Tapi Raden Budog tidak ingin beristirahat barang sebentar. Dia terus mencoba melangkah dengan sisa tenaganya.
"Benda ini rasanya sudah tak berguna, hanya memberati pundakku saja. Lebih baik kutinggalkan saja di sini," gumam Raden Budog. Diambilnya batu asah itu dari dalam tasnya dan diletakkannya di tepi jalan. "Biarlah batu ini menjadi kenangan," gumamnya lagi. Demikiamah, sampai saat ini di Legon Waru terdapat sebuah karang yang dikenal dengan Karang Pengasahan.
Berhari-hari Raden Budog terus mengembara menyusuri pesisir pantai. Wajah gadis yang menghiasi mimpinya memenuhi pikirannya sepanjang perjalanan, menyalakan semangat dalam dadanya. Rasa bosan, lelah dan letih tak dihiraukannya. Juga pakaiannya yang mulai lusuh dan badannya yang berdebu. Suatu ketika hujan turun dengan derasnya, Raden Budog berlindung di bawah pohon. Dari balik pasir, tiba-tiba berhamburan penyu-penyu besar dan kecil menuju laut. Penyu-penyu itu seakan gembira menyambut datangnya air hujan. Tempat itu kini dikenal dengan nama Cipenyu. Sesaat kemudian Raden Budog melanjutkan perjalanannya setelah mengambil daun pohon langkap yang dijadikannya sebagai payung agar tidak kehujanan.
Namun hujan terus melebat, tidak ada pertanda akan reda. Mendung tampak semakin menghitam dan bergerak dari  selatan menuju utara. "Mudah-mudahan ada gua di sekitar sini. Aku harus berlindung dan beristirahat sejenak," gumam Raden Budog. Dan betapa gembiranya Raden Budog ketika dilihatnya sebuah bukit karang yang menjorok. Raden Budog pun mempercepat langkah dan masuk ke dalam gua. Ditutupnya pintu gua dengan daun langkap sehingga gua itu pun menjadi gelap gulita.
Beberapa saat Raden Budog beristirahat melepas lelah sambil menunggu hujan reda. Tapi Raden Budog merasa tidak nyaman berada dalam gua yang gelap gulita itu. Dibukanya daun langkap yang menutupi pintu gua. Seberkas sinar menerobos masuk. Ternyata hujan telah reda. Raden Budog pun keluar dan ditutupnya kembali mulut gua itu dengan daun langkap. Sampai saat ini pintu gua itu tetap tertutup daun langkap yang membatu dari dikenal dengan nama Karang Meumpeuk.
Tidak jauh dari  Karang Meumpeuk, tibalah Raden Budog pada sebuah muara sungai yang airnya sangat deras. Hujan yang baru saja turun memang sangat lebat, sehingga tidak mengherankan jika sungai-sungai menjadi banjir. Raden Budog terpaksa menghentikan perjalanannya dan duduk di atas batu memandangi air sungai yang meluap. Sayup-sayup terdengar bunyi lesung dari  seberang sungai. Hati Raden Budog berdebar dipenuhi rasa sukacita. Dia merasa yakin, di seberang sungai terdapat kampung tempat tinggal gadis pujaannya yang selama ini dia cari. "Dasar kali banjir!" gerutu Raden Budog tak sabar menunggu banjir surut. Tempat ini sampai sekarang terkenal dengan Kali Caah yang berarti kali banjir.
Karena sudah tidak dapat menahan sabar, akhirnya Raden Budog menyeberangi sungai itu walaupun dengan susah payah dan dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Di pitltu masuk kampung, Raden Budog beristirahat, rnengitarkan pandang ke arah kampung. Hatinya mulai merasa tenang karena merasa akan segera bertemu dengan gadis yang dimimpikannya.

Di kampung itu tinggallah seorang janda bernama Nyi Siti yang memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik. Sri Poh Haci namanya. Setiap hari Dri Poh Haci membantu ibunya mnumbuk padi menggunakan lesung yang dipukul-pukulnya itu menimbulkan suara yang sangat merdu dan indah. Oleh sebab itu, setiap kali selesai menumbuk padi, Sri Poh Haci tidak segera berhenti, tapi terus memukul-mukul lesung itu hingga terangkatlah nada yang merdu dan enak didengar. Dimulai dari sinilah akhirny banyak gadis kampung yang berdatangan ke rumah Nyi Siti untuk ikut memukul lesung bersama Nyi Poh Haci.
Kebiasaan memukul lesung akhirnya menjadi tradisi kampung itu. Sri Poh Haci merasa gembira dapat menghimpun gadis-gadis kampung bermain lesung. Permainan ini oleh Sri Poh Haci diberi nama Ngagondang, yang kemudian dijadikan acara rutin setiap akan menanam padi. Tapi pada setiap hari Jum’at dilarang membunyikan lesung, karena hari Jum’at adalah hari yang keramat bagi kampung itu.
Raden Budog yang sedang beristirahat di pintu masuk kampung kembali mendengar bunyi lesung yang mengalun merdu. Kemudian dia berdiri dan melangkahkan kaki menuju ke arah sumber bunyi-buny'in itu. Bunyi lesung terdengar semakin keras. Di dekat sebuah rumah, dilihatnya gadis-gadis kampung sedang bermain lesung. Tangan mereka begitu lincah dan trampil mengayunkan alu ke lesung, membentuk nada-nada mempesona. Tapi yang lebih mempesonakan Raden Budog adalah seorang gadis semampai yang cantik jelita. Gadis itu mengayunkan tangannya sekaligus memberi aba-aba pada gadis-gadis lain. Rupanya gadis itu adalah pemimpin dari kelompok gadis-gadis yang sedang bermain lesung itu.
Merasa ada yang memperhatikan, gadis itu, Sri Poh Haci, memberikan syarat kepada gadis-gadis lainnya untuk menghentikan permainan. Gadis-gadis itu pun bergegas pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula Sri Poh Haci. Di dalam rumah, ibunya bertanya kepada Sri Poh Haci, mengapa permainannya hanya sebentar. Sri Poh Haci lalu menceritakan bahwa di luar ada seorang lelaki tampan yang belum pernah dilihatnya. "Laki-laki itu memperhatikanku terus. Aku jadi malu, Bu," kata Sri Poh Haci.
Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan pintu.
"Sampurasun."
"Rampes," jawab Nyi Siti seraya berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Dilihatnya seorang pemuda yang gagah lagi tampan berdiri di depan pintu.
Belum sempat Nyi Siti berbicara, pemuda itu sudah mendahului membuka suara. "Maaf mengganggu. Bolehkah saya menginap di rumah ini?"
Nyi Siti tentu saja kaget mendengar permintaan dari orang yang tak dikenalnya. "Kisanak ini siapa? Dari mana asalnya? Mengapa pula hendak menginap di sini? Saya belum kenal dengan Kisanak," kata Nyi Siti.
"Oh, ya. Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Raden Budog. Saya seorang pengembara. Saya tak punya tempat tinggal. Kebetulan saya sampai di kampung ini, dan kalau diperbolehkan saya ingin menginap di sini," jelas Raden Budog.
"Maaf, Kisanak. Saya seorang janda dan tinggal dengan anak perempuan saya satu-satunya. Saya tidak berani menerima tamu laki-laki, apalagi sampai menginap," jawab Nyi Siti dengan tegas dan segera menutup pintu.
Hari sudah mulai gelap. Raden Budog yang merasa kesal oleh kejadian yang baru saja dialaminya berjalan menuju bale-bale bambu di dekat rumah Nyi Siti. Dia merebahkan tubuhnya dan segera tertidur pulas. Dia pun bermimpi diijinkan menginap di rumah itu. Bukan oleh Nyi Siti yang menyebalkan itu, tapi oleh seorang gadis cantik yang dia temui dalam mimpinya di pantai selatan, gadis yang tadi dilihatnya sedang bermain gondang. Ah, betapa senangnya hati Raden Budog.
Namun waktu begitu cepat berlalu. Matahari mulai muncul di ufuk timur. Raden Budog terbangun, mengusap-usap matanya yang masih mengantuk. Hidungnya mencium wangi kopi yang menyegarkan. Kemudian dilihatnya seorang gadis cantik menyuguhkan segelas kopi di sampingnya.
"Minum dulu kopinya, Raden," kata gadis itu.
"Kamu siapa? Dari mana kamu tahu namaku?" tanya Raden Budog, walau sesungguhnya dia tahu bahwa gadis itu pastilah anak Nyi Siti.
"Namaku Sri Poh Haci, anak Nyi Siti.”
Hari berganti hari. Kedua insan itu pun jatuh cinta. Nyi Siti sebenarnya tidak setuju bila anaknya dipinang oleh orang yang tidak diketahui asal-usulnya, apalagi orang itu kelihatan keras kepala. Tapi Nyi Siti juga tidak ingin mengecewakan hati Sri Poh Haci, anaknya yang semata wayang itu. Akhirnya Raden Budog menikah dengan Sri Poh Haci. Kesenangan Sri Poh Haci menabuh lesung tetap dilanjutkan bersama gadis-gadis kampung. Bahkan Raden Budog sendiri menjadi sangat mencintai bunyi lesung dan turut memainkannya. Hingga suatu ketika, terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan sama sekali oleh penduduk kampung itu. Karena sangat senangnya terhadap bunyi lesung, Raden Budog yang keras kepala itu setiap hari tidak mau berhenti menabuh lesung.
Hari itu hari Jum'at. Raden Budog kembali hendak menabuh lesung. Para tetua kampung memperingatkan dan melarang Raden Budog. Tapi Raden Budog tidak perduli dan tetap menabuh lesung. Dengan hati girang dan bersemangat, Raden Budog terus menabuh lesung seraya melompat-lompat kian kemari.
"Lihat, lihat! Ada lutung memukul lesung! Ada lutung memukul lesung!" Penduduk kampung berteriak-teriak melihat seekor lutung sedang memukul-mukul lesung.
Raden Budog terperanjat mendengar teriakan-teriakan Itu. Dia melihat ke sekujur tubuhnya. Betapa kagetnya dia setelah melihat tangarnnya penuh bulu. Begitu pula kakinya. Dirabanya mukanya yang juga telah ditumbuhi bulu. Raden Budog pun lari terbirit-birit masuk ke dalam hutan di pinggir kampung itu. Raden Budog menjadi lutung. Penduduk kampung itu menamainya Lutung Kesarung.
Sri Poh Haci sangat malu dengan kejadian itu. Diam-diam dia pergi meninggalkan kampung. Konon Sri Poh Haci menjelma menjadi Dewi Padi. Demikianlah ceritanya, kampung itu pun terkenal dengan sebutan Kampung Lesung dan karena letaknya di sebuah tanjung, orang-orang kemudian menyebutnya Tanjung Lesung.















Read more ...

Side Ads

Connect Us

Footer Ads

Recent

Designed By VungTauZ.Com