MASJID
SUMPAH TERATE UDIK
Oleh Annisa Ramadhieni
AKISAH di suatu desa berdirilah sebuah mushola kecil, tempat
beribadah masyarakat yang berada di sekitarnya. Selain menjadi tempat ibadah,
mushola tersebut sering dipakai untuk bermusyawarah, hingga akhirnya mushola itu
dijadikan tempat berkumpul masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
menyangkut kehidupan sehari-hari.
Pada suatu hari, datanglah masyarakat berbondong-bondong ke
mushola kecil tersebut. Mereka menemui ustadz Wahid, pengurus mushola itu. Pak
Ahmad, salah seorang warga masyarakat, maju ke depan dan bercerita kepada ustadz
Wahid bahwa terjadi perselisihan perkara tanah antara Pak Tio dan Pak Sidik di
balai desa. Ustadz Wahid diminta oleh masyarakat agar menyelesaikan perkara
tersebut. Ustadz Wahid pun pergi ke balai desa. Di balai desa, Ustadz Wahid
berbicara dengan kedua belah pihak. Masing-masing pihak mengakui bahwa tanah
kosong di belakang mushola tersebut adalah miliknya. Tentu saja hal itu
sangatlah tidak mungkin. Lalu ustadz Wahid meminta kepada masing-masing pihak
untuk berkata sejujur-jujurnya dan apa adanya. Namun hingga senja tiba, kedua
belah pihak tetap mengakui bahwa tanah itu milik mereka masing-masing. Ustadz
Wahid heran. Kemudian ustadz Wahid memberi usul, bagaimana kalau tanah itu
dibagi dua saja. Tapi masing-masing pihak menolak usulan ustadz Wahid, dan
bersikeras terhadap pendiriannya masing-masing. Sampai larut malam mereka masih
tetap seprti itu. Usatdz Wahid akhirnya memutuskan bahwa perkara ini akan
diselesaikan besok pagi di mushola tempat ia tinggal. Dan masing-masing pihak
diminta untuk menyiapkan seorang saksi.
Keesokan harinya, kedua belah pihak itu datang ke mushola.
Setelah saksi kedua belah pihak datang, barulah musyawarah itu dimulai. Saksi
dari kedua belah pihak diminta maju ke depan untuk disumpah. Satu persatu saksi
pun disumpah dengan memakai sehelai selendang di hadapan kitab suci
Alqur'an.
"Saya berjanji di mushola ini, di depan Al-qur'an, demi Allah
bahwa tanah yang ada di belakang mushola ini adalah milik Pak Sidik. Saya yang
melihat dan mendengar dengan kepala dan telinga saya sendiri. Ki Ahmad
memberikan wasiatnya kepada Pak Sidik sebelum meninggal!" ucap Rahmat, saksi
dari pihak Pak Sidik.
"Benar?" tanya Ustadz Wahid.
"Semua itu bohong belaka, Ustadz. Kalian tak boleh berkata
seenaknya. Kami dari pihak Pak Tio, sudah mempunyai bukti yaitu surat wasiat KI Ahmad.
Surat ini baru
kami dapatkan dari orang yang biasa membersihkan kamarnya. Surat ini ditemukan di bawah kasur tempat tidurnya Ki
Ahmad!" jelas Randik, saksi dari pihak Pak Tio sambil memperlihatkan surat wasiat tersebut.
Semasa hidupnya Ki Ahmad dikenal sebagai sesepuh desa yang
dikenal juga sebagai ulama. Namun sayang, sampai akhir hayatnya Ki Ahmad belum
pernah menikah dan tidak mempunyai anak. Sementara itu, kekayaan milik Ki Ahmad
tidak ada yang mengurusnya. Hingga akhirnya orang-orang terdekatnya yang
dianggap sebagai anak angkat oleh Ki Ahmad sekarang sedang berebut harta
kekayaan milik beliau.
Akhirnya, dengan melihat beberapa saksi dan bukti yang
meyakinkan, Ustadz Wahid bersama ulama-ulama yang lain memutuskan tanah itu
adalah milik Pak Tio. Semua yang mendukung Pak Tio bertepuk tangan gembira.
Sementara pihak dari Pak Sidik terlihat muram dan sedih.
Pada malam harinya terdengar berita bahwa Randik, saksi dari
pihak Pak Tio tiba-tiba jatuh sakit. Menurut tabib yang memeriksanya, ia terkena
penyakit keras yang sudah sangat parah. Beberapa hari kemudian ia meninggal
dunia. Pak Tio ketakutan. la merasa bersalah telah menyuruhya untuk bersumpah
palsu di hadapan seluruh warga desa. Akhirnya, Pak Tio mengaku bahwa dirinya
telah berdusta dan membuat surat wasiat palsu. Pada malam harinya, rumah
Pak Tio habis dilalap api. Istri dan anak-anak Pak Tio dapat diselamatkan. Namun
Pak Tio tidak bisa diselamatkan lagi. Itulah takdir yang harus Pak Tio terima,
karena ia telah membohongi seluruh warga desa. Dari kejadian itu warga desa pun
menerima hikmahnya. Kemudian diputuskan bahwa sisa-sisa kekayaan Ki Ahmad akan
diwaqafkan dan dipakai untuk membangun mushola dan desa.
Semenjak peristiwa yang menimpa Pak Tio, tak pernah lagi
terdengar perselisihan perkara tanah. Namun beberapa waktu kemudian
masalah-masalah kembali bermunculan.
Pada suatu malam, terdengar ada seseorang berteriak meminta
pertolongan. Ustadz Wahid mendengarnya. Ustadz Wahid pun pergi untuk mencari
dari mana asal suara tersebut. Setelah sampai di tempat asal suara tersebut,
ustadz Wahid melihat sudah banyak warga desa berdatangan.
"Ada apa ini?" tanya ustadz Wahid heran.
"Begini, Pak Ustadz, rumah Fatimah kecurian. Semua barang-barang
berharganya dibawa kabur oleh pencuri!" jawab orang yang menyaksikan peristiwa
tersebut. Kemudian ustadz Wahid masuk ke dalam rumah Fatimah. Ustadz Wahid
menemukan Fatimah sedang menangis. Lalu ustadz Wahid berusaha menenangkannya.
Setelah Fatimah tenang, ustadz Wahid pamit pulang dan ustadz Wahid berjanji akan
mencari pencurinya.
Pada keesokan paginya, ada seseorang yang datang ke mushola untuk
menemui ustadz Wahid. Orang itu bermaksud untuk berkenalan dengan ustadz Wahid.
Orang itu adalah seorang warga yang baru pindah dari kampung sebelah yang
bernama Fikar. Orang itu meminta ustadz Wahid datang bersama beberapa warga desa
lainnya untuk menghadin syukuran. Ustadz Waliid menerimanya dan ia berjanji akan
mengajak teman-teman warga desa lainnya. Sesampainya di rumah Pak Fikar, ustadz
Wahid dan warga desa yang lainnya disuguhi berbagai macam makanan yang enak dan
lezat. Semuanya merasa senang termasuk ustadz Wahid, terkecuali Pak Umar, suami
dari Fatimah yang baru kemarin malam kecurian. Pak Umar merasakan ada sesuatu
yang aneh mengganjal di hatinya. Benar saja, ia melihat emas milik istrinya
dipakai istrinya Pak Fikar dan ia Juga melihat kalau Pak Fikar memakai cincin
batunya yang hilang kemarin malam. Tentu saja Pak Umar merasa curiga,
jangan-jangan pencurinya adalah Pak Fikar bersama komplotannya.
Setelah acara usai, terlihat Pak Umar sedang terdiam di teras
depan rumah Pak Fikar. Lalu ustadz Wahid menghampinnya.
"Ada apa, Pak Umar? Saya melihat anda dari tadi
diam saja," tanya ustadz Wahid.
"Pak ustadz, saya merasa ada yang aneh di sini. Saya melihat emas
milik istri saya dipakai oleh istrinya Pak Fikar. Saya juga melihat cincin batu
peninggalan bapak saya dipakai oleh Pak Fikar" jelas Pak Umar.
"Mungkin kebetulan saja macam dan bentuknya satna!" ustadz Wahid
mengelak.
"Tidak, ustadz. Saya yakin bahwa Pak Fikar adalah seorang
pemimpin komplotan pencuri yang merampok rumah saya kemarin malam. Tidak mungkin
ada emas yang sama seperti milik istri saya, karena saya khusus memesan satu
untuk istri saya. Dan cincin batu itu bapak saya yang membuatnya. Jadi, tidak
mungkin ada yang menyamainya. Apalagi dari kampung sebelah."
"Awalnya saya juga merasakan ada sesuatu, tapi perasaan itu
hilang saat saya mengetahui kalau Pak Fikar adalah anak dari kakaknya Ki Ahmad.
Tapi perasaan itu sekarang muncul kembali setelah saya dengar pengakuan dari Pak
Umar!" ucap ustadz Wahid setengah terkejut. Setelah ustadz Wahid pulang, Pak
Umar dan beberapa kawannya mencoba menemui Pak Fikar.
Pak Umar mengetuk pintu. Istri Pak Fikar yang membukanya dan
memberitahu kalau Pak Fikar sudah tidur. Kemudian, kawan-kawan Pak Umar
mencobanya. Dan ternyata, mereka berhasil menemui Pak Fikar. Mereka mencoba
mencari tahu tentang cincin dan emas yang ada di tangan Pak Fikar dan istnnya.
Sementara itu Pak Umar mengintip dan balik dinding tembikar.
`'0h, ya, Pak Fikar. Cincin yang anda pakai bagus sekali. Dapat
dan mana cincin itu?"
"Cincin ini saya dapat kemann dari kakak saya. Saya baru saja
mendapatkan warisan yang cukup besar dari kakak saya. Selain itu saya juga
mendapat emas dari kakak saya!" jawab
Pak Fikar. Namun, kawan-kawan Pak Umar tetap tidak percaya karena emas dan
cincin batu yang dipakai Pak Fikar dan istrinya sudah sering mereka lihat
dipakai Pak Umar dan Bu Fatimah. Seusai mereka berbasa-basi, akhirnya
kawan-kawan Pak Umar pulang ke rumahnya masing-masing.
Pada pagi harinya, Pak Umar dan kawan-kawan menemui ustadz Wahid
di mushola. Mereka bermaksud untuk melaporkan yang telah terjadi semalam.
Menurut Pak Umar dan kawan-kawan, jawaban Pak Fikar kurang masuk akal dan jelas
terbukti bahwa Pak Fikarlah yang telah mencuri barang-barang berharga milik Pak
Umar dan Bu Fatimah. Di saat Pak Umar dan Bu Fatimah kehilangan, Pak Fikar dan
istrinya mendapatkan barang-barang tersebut. Pak Umar dan kawan-kawannya sangat
geram, dari ingin segera mengusir Pak Fikar dan istrinya dari desa ini. Pak Umar
dan kawan-kawannya membuat sebuah rencana. Mereka akan melabrak rumah Pak Fikar,
dan mencari barang-barang yang bisa dijadikan sebagai bukti, Tapi rencana mereka
gagal karena telah diketahui ustadz Wahid, dan ustadz wahid menghalau mereka di
tengah jalan. Ustadz Wahid memutuskan untuk bicara baik-baik dengan Pak Fikar.
Ustadz Waiiid akan mengajak Pak Fikar bersumpah di mushola esok harinya.
Matahari telah kembali di ufuk Timur, sinar kembali terang.
Pagi-pagi sekali Pak Umar dan istrinya datang beserta kawan-kawannya. Tak lama
kemudian Pak Fikar dan istrinya tiba di mushola. Setelah ustadz Wahid
mempersiapkan segala sesuatunya akhirnya Pak Fikar disumpah. Pak Fikar harus
berkata sejujur mungkin dengan apa adanya.
"Saya berjanji, demi Allah bahwa saya tidak pernah mencuri
barang-barang dari rumah Pak Umar!" janji Pak Fikar. Seusai Pak Fikar disumpah,
mereka pulang ke rumahnya masing-masing.
Seminggu kemudian tersiar kabar bahwa Pak Fikar menderita
penyakit yang sangat aneh. Tubuhnya berbau seperti ikan, di kulitnya tumbuh
bisul-bisul yang sangat menjijikan. Semua anggota tubuhnya lumpuh. Sehingga
istrinya tak tahan merawat suaminya lagi, dan istrinya pergi meninggalkannya.
Beberapa hari kemudian Pak Fikar meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah makam
kakaknya.
Berita meninggalnya Pak Fikar membuat seluruh warga menjadi
geger. Sehingga seluruh warga desa menganggap mushola itu adalah tempat
bersumpah keramat. Dan kabar itu terdengar oleh warga desa seberang, sehingga
banyak orang-orang yang sengaja ingin mengunjungi mushola tersebut. Pada suatu
saat datang warga desa berbondong-bondong ke mushola tersebut. Mereka meminta
bantuan kepada ustadz Wahid untuk menyumpah seseorang yang dituduh sebagai
penjarah di pasar. Ustadz Wahid menyanggupinya. Tidak lama kemudian penyumpahan
pun dimulai.
"Saya bersumpah demi Yang Maha Pencipta, bahwa saya tidak pernah
menjarah di pasar atau pun di tempat lainnya.!" janji orang tersebut. Beberapa
minggu kemudian, tidak pernah terjadi apa-apa terhadap orang tersebut. Dan ia
dinyatakan tidak bersalah. Semenjak saat itu warga desa menganggap bahwa mushola
itu adalah tempat yang harus dijaga dan dilestarikan. Dan akhirnya mushola itu
diperbesar dan dijadikan masjid tempat untuk beribadah.
Dari peristiwa tersebut kita bisa mengambil banyak hikmah, bahwa
kebaikan itu akan selalu terbukti dan kejahatan pasti akan diketahui walau
sekecil apapun. Selain itu kita harus pintar menjaga mulut, agar mulut kita
tidak dipergunakan untuk bersumpah sembarangan.
Masjid Terate Udik, itulah nama masjid yang biasa dipakai oleh
orang-orang sebagai tempat bersumpah. Akan tetapi, hanya orang-orang yang
benar-benar dan bersungguh-sungguhlah yang mau bersumpah di masjid ini. Sampai
sekarang masjid ini masih ada dan dijaga serta dilestarikan karena masih
dipercayai sebagai masjid sumpah. Namun sayangnya, Masjid Terate Udik yang
berada di kampung Terate Udik, desa Masigit, kecamatan Cilegon, kota Cilegon konon
ceritanya tidak bisa diabadikan oleh kamera atau pun sejenisnya. Karena hasilnya
tidak akan pernah jadi. Begitulah Masjid Terate Udik, masjid yang banyak
menyimpan masalah-masalah yang tak terpecahkan.
LEGENDA
GUNUNG PINANG
oleh: Adkhilni MS
SEMILIR angin senja pantai teluk Banten mempermainkan rambut
Dampu Awang yang tengah bersender di bawah pohon nyiur. Pandangannya menembus
batas kaki langit teluk Banten. Pikirannya terbang jauh. Jauh sekali.
Meninggalkan segala kepenatan hidup dan mengenyahkan kekecewaan atas ibunya.
Menuju suatu dunia pribadi dimana hanya ada dirinya sendiri. Ya, hanya
dirinya.
"Ibu tidak akan izinkan kamu pergi, Dampu." Dia teringat
kata-kata Ibunya tadi pagi.
"Tapi, Bu..." sergah Dampu Awang.
"Tidak! Sekali tidak, tetap tidak!'' Wajah ibunya mulai memerah.
"Ibu tahu, nong. Kamu pergi supaya kita tidak sengsara terus. Tapi ibu sudah
cukup dengan keadaan kita seperti ini," lanjut ibunya sambil terus
menginang.
"Ibu, Dampu janji. Kalau Dampu pulang nanti, Dampu akan
membahagiakan ibu. Dampu akan menuruti segala perintah ibu. Coba ibu bayangkan,
nanti kita akan kaya, Bu. Kita akan bangun rumah yang besar seperti rumah para
bangsawan." Dampu Awang merayu ibunya.
"Dampu ... Ibu lelah," ujar ibunya. "Ibu sudah bosan mendengar
ocehanmu tentang harta kekayaan. Setiap hari kamu selalu saja melamun ingin
cepat kaya"
Perkataan itu betul-betul menohok tepat di ulu hati Dampu.
"Kamu tahu nong," Ibu melanjutkan ceramahnya. "Ibu masih kuat
sampai sekarang, itu karena kamu. Karena masih ada kamu, Dampu. Nanti kalau kamu
pergi, siapa yang menemani ibu? Sudahlah, Dampu... Ibu sudah lelah"
Selepas shalat maghrib Dampu Awang kembali menemani laut dari
beranda rumah. Wajahnya masih menyisakan harapan sekaligus kekecewaan yang
teramat sangat mendalam. Batinnya terus menerus bergejolak. la masih kesal
dengan ucapan ibunya.
Apakah ibu tidak tahu di Malaka sana banyak sekali pekerjaan yang akan membuat
aku kaya? ujar Dampu dalam hati. Dan kalau aku kaya, tentu ibu akan turut kaya
raya. Seharusnya ibu melihat jauh ke masa depan, kita tidak akan kaya kalau kita
selamanya hidup di kampung nelayan miskin ini terus.
Kesempatan ini telah lama aku nantikan. Seorang saudagar asal
Samudera Pasai datang berdagang ke Banten. Setelah satu bulan lamanya menetap di
Banten, kini saatnya saudagar itu angkat sauh dan kembali berlayar ke negeri
asal. Tinggal satu minggu lagi, kapal itu akan berlabuh. Namun, ibu belum juga
memberikan izin.
"Dampu..." ucap ibunya lembut, khawatir mengagetkan anaknya.
Dampu melihat ibunya tersenyum. Di matanya ada kehangatan cinta
yang mendalam. Batin Dampu kembali terguncang. Hatinya terus bertanya-tanya.
"Ada apa, Ibu?" tanya Dampu.
Ibu hanya tersenyum. Matanya meneravvang mencari bintang di
langit cerah kemudian memandang' deburan ombak di lautan yang bersinar karena
ditimpa sinar gemerlap rembulan.
Betapa bahagia hati Dampu Awang mendengar ibunva memberi izin. la
merasakan dadanya menghangat. seolah diselimuti pusaran energi yang dahsyat.
Matanya mulai berembun. Dampu Awang pun membentuk sebuah lengkungan manis di
bibirnya.
"Terima kasih, Ibu..."
Deburan ombak, semilir angin laut, bau asin pantai, kepak sayap
burung-burung camar, lambaian orang-orang kampung, mengiringi kepergian
rombongan saudagar dari pelabuhan. Dampu Awang melihat ibunya meratapi
kepergiannya. Sebening embun menggenang di pelupuk mata. Masih terngiang di
telinganya petuah-petuah yang diberikan ibunya sesaat sebelum ia pergi.
"Dampu..." ujar ibunya, "Ibu titip si Ketut. Kamu harus merawat
si Ketut baik-baik, ya nong. Si Ketut ini dulunya peliharaan bapakmu. Bapakmu
dulu sangat menyayangi si Ketut. la sangat mahir sebagai burung pengirim pesan.
Kamu harus rutin mengirimi ibu kabar. Jaga baik-baik si Ketut seperti kamu
menjaga ibu, ya nong," Ibu melanjutkan petuah-petuahnya. Air matanya sudah tidak
mampu dibendung lagi.
"Enggih, Bu." Hanya itu yang mampu Dampu ucapkan saat ibunya
memberikan puluhan petuah sebelum Dampu berlayar. Tapi ia berjanji akan
mengirimi Surat
untuk Ibunya tercinta setiap awal purnama.
Setiap hari, saat bola api langit masih malu-malu menyembulkan
jidatnya di permukaan bumi, Dampu Awang bekerja membersilikan seluruh galangan
kapal dan merapihkan barang-barang di kapal saudagar Teuku Abu Matsyah.
Hari berganti, bulan bergulir, tahun bertambah. Dampu Awang kini
terkenal sebagai pekerja yang rajin. Tak aneh, jika Teuku Abu Matsyah begitu
perhatian padanya. Bahkan Siti Nurhasanah, putri Teuku Abu Matsyah, diam-diam
menaruh hati padanya. Hingga suatu hari Teuku Abu Matsyah memanggil Dampu Awang
untuk berbicara empat mata.
"Dampu..." Ujar Abu Matsyah mengawali pembicaraan.
"Saya, Juragan"
"Kita Sudah saling kenal lebih dari lima tahun. Itu bukanlah
waktu yang sebentar untuk saling mengenal," suara Abu Matsyah terdengar berat.
-Saya kagum dengan kerajinanmu, Dampu."
"Terima kasih, Juragan"
"Karena itu, saya berniat untuk menjodohkan kamu dengan putriku.
Siti Nurhasanah," kata Abu Matsyah seraya menyisir-nyisir janggut putihnya.
Dampu Awang terkejut bukan main. la tak menyangka Teuku Abu
Matsyah berbuat sejauh ini. Diam-diam ia memang mencintai Siti Nurhasanah, tapi
apa pastas? Lantas bagaimana dengan restu ibunya di Banten'? Apakah ia marnpu
membahagiakan Siti? Berpuluh-puluh pertanyaan bersarang di kepala Dampu
Awang.
"Bagaimana, Dampu?" Pertanyaan Abu Matsyah membawa Dampu Awang
kembali ke alam nyata.
"Maaf, Juragan. Saya bukan rnenolak niat baik juragan." Dampu
menanti saat yang tepat. "Tetapi apakah saya pastas?"
"Jadi kamu menolak niat baik saya, Dampu?"
"Maaf. Juragan. saya tidak berani menolak niat baik juragan. Tapi
..."
Sudah satu dasawarsa Dampu Awang meninggalkan tanah kelahirannya.
la hanya mengirimkan empat kali surat kepada ibunva di Banten. Hingga suatu
hari, tersiarlah kabar akan ada saudagar besar dari Malaka. Kabar itu merembet
dengan cepat seperti kecepatan awan yang ditiup angin. Setiap orang ramai
membicarakan kekayaan saudagar itu.
"Jangan-jangan Dampu Awang pulang," ujar ibunya sumringah. "Dampu
Awang, putraku, akhirnya pulang." Ujar ibunya lagi. Dari suaranya tercermin
jelas keharuan dan kegembiraan yang tiada terkira. Yang tidak akan mampu
terangkum dalam rangkaian kata atau terlalu besar untuk disimpan di dalam gubuk
reotnya.
"Alhamdulillah, hatur nuhun Gusti Allah. Alhamdulillah...
Alhamdulillah... Alhamdulillah," berkali-kali wanita itu berucap syukur.
"Woi! Kapalnya sudah datang!" seseorang berseru dari arah
pantai
"Hei lihat! Kapalnya besar sekali!" sahut orang yang lain.
Kapalnya luar biasa besar dan megah. Sampai-sampai membentuk
bayangan di pantai. Kayunya dari bahan
kayu pilihan. Layarnya luas terbentang. Para
awak kapal yang gagah tengah sibuk menurunkan barang bawaan.
Penduduk Banten semakin lama semakin banyak yang merubungi
pantai. Mereka penasaran siapa yang datang berkunjung. Ibu Dampu Awang adalah
salah satu diantara lautan manusia yang semakin membludak saja itu. Tampang Ibu
Dampu Awang lusuh bukan main, bahkan pakaiannya lebih kumal dibanding bendera
kapal megah itu.
Sementara itu, di dalam kapal Dampu Awang gelisah. la sekarang
sudah menjadi pewaris kekayaan tunggal dari
Teuku Abu Matsyah. Sejak Dampu menikah dengan Siti Nurhasanah, mertuanya
itu mempercayakan seluruh harta kekayaannya kepada Dampu. Selang beberapa lama
Teuku Abu Matsyah meninggal dunia. Dan kini, namanya sudah tersohor menjadi
pedagang yang kaya raya dari Malaka.
Sengaja ia singgah di kampung halamannya, ingin melihat apakah
ibunya masih hidup. Hanya untuk sekadar melihat saja. Ratusan pasang tatap mata
mengiringi seorang lelaki tampan nan gagah yang keluar dari ruangan kapal.
Bajunya terbuat dari kain emas dan pecinya sangat indah sekali. Di pinggangnya
terselip golok sakti yang menjadi idaman setiap pendekar. Di pundaknya
bertengger seekor burung perkutut yang terlihat sangat sehat.
Di samping lelaki itu terdapat seorang perempuan cantik yang
digapitnya mesra. Dia pasti istrinya. Wajahnya putih bersih dan bercahaya.
Sedangkan rambutnya hitam legam seperti langit malam. Suatu kombinasi yang
sempurna. Cantik sekali!
"Dampuuuuuu! Dampu Awaaaaaang! Ini Ibu. Di sini. Sebelah sini!"
teriak Ibu Dampu Awang sambil melambai-lambaikan tangan. Mendadak wanita tua itu
kembali mendapatkan tenaganya kembali. Gairah yang ia rasakan seperti dulu
sebelum Dampu Awang, putranya, pergi.
"Dampu Awaaaaaang!" teriak sang ibu sekali lagi.
Semua perhatian terpusat pada Ibu Dampu Awang yang dari tadi
berteriak-teriak. Semua heran, apa betul wanita tua dekil ini adalah ibu dari
saudagar yang kaya raya itu.
"Kang Mas, apa betul dia ibumu?" tanya istri Dampu Awang.
"Mengapa Kang Mas tidak pernah cerita, kalau orang tua Kang Mas masih
hidup'?"
"Tidak! Wanita tua itu bukan ibuku!" tampik Dampu Awang dengan
cepat. "Dia hanya seorang wanita gila yang sedang meracau!"
Dari atas kapal Dampu
Awang menatap kerumunan penduduk yang wajahnya tampak kebingungan.
"Wahai penduduk Banten!" seru Dampu Awang. "Tidak usah bingung.
Dia bukan ibuku. Kedua orang tuaku sudah mati. Mereka adalah manusia terhormat
yang kaya raya. Bukan seperti wanita tua itu yang berpakaian compang camping dan
miskin sengsara!"
Perkataan Dampu Awang tadi bagai petir di siang bolong. Seperti
ada godam besar yang menghujam berkali-kali ke sanubari Ibu Dampu Awang.
Perasaannya lebih sakit dibanding saat kematian suaminya atau saat melepas
putranya berlayar.
"Hei, wanita tua gila!" Dampu Awang menunjuk ibunya. "Aku tidak
pernah mempunyai ibu sepertimu. Demi Allah, ibuku adalah seorang yang kaya raya,
bukan seorang wanita miskin yang hina sepertimu!"
Luka yang ditorehkan oleh ucapan Dampu Awang itu semakin
membesar. Menganga di dalam hati sang ibu. Sang ibu tertunduk lesu. la bersimpuh
di atas kedua lutut keriputnya.
"Nakhoda, cepat kita pergi dari sini. Batalkan janji bertemu
dengan Sultan. Kita akan lanjutkan perjalanan!" Dampu Awang memerintah. la harus
lekas pergi sebelum orang-orang tahu kalau wanita tua yang dekil itu adalah ibu
kandungnya. Mau ditaruh di mana mukaku, ujarnya dalam hati.
Sang ibu tertunduk lesu. Air matanya semakin tidak terbendung.
Harapan, kebahagian, kegembiraan, suka cita, yang telah dihimpunnya selama
puluhan tahun, kini seolah semuanya telah menguap tanpa bekas. Penantiannya
selama puluhan tahun harus berakhir dalam kesakithatian yang semakin
mendalam.
"Duhai, Gusti. Hampura dosa," Ibu Dampu awang berdoa. "Kalau
memang benar dia bukan anakku, biarkan ia pergi. Tapi kalau dia adalah putraku,
hukumlah ia karena telah menyakiti perasaan ibunya sendiri." Ibu Dampu Awang
khusyuk berdoa. Khidmat.
Tiba-tiba langit gelap. Awan-awan hitam datang tanpa diundang.
Berkumpul menjadi satu kesatuan. Hitam dan besar. Hingga sinar matahari pun
tidak mampu lagi terlihat. Siang hari yang cerah mendadak seperti malam yang
gelap gulita. Petir. Kilat. Guntur. Saling sambar menyambar. Hujan
deras.
"Ada badai. Cepat berlindung!" teriak seorang
warga.
Langit muntah. Langit muntah. Muntah besar. la menumpahkan segala
yang dikandungnya. Dunia serasa kiamat. Dampu Awang beserta kapalnya
terombang-ambing di lautan. Dipermainkan oleh alam. Allah telah menjawab
rintihan seorang hamba yang didzalimi. Para
awak kapal ketakutan, mereka ramai-ramai menerjunkan diri ke laut. Petir
menyambar galangan kapal dan layar. Tiang-tiang kapal tumbang.
Tiba-tiba keajaiban terjadi. Si Ketut bisa bicara.
"Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang."
"Tidak! Dia bukan ibuku! Dia bukan ibuku. Ibuku telah mati!"
sergah Dampu Awang.
"Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang" si Ketut
mengulangi ucapannya.
"Ya Allah, berilah pelajaran yang setimpal sebagaimana yang ia
lakukan padaku," Ibu Dampu Awang kembali berdoa.
Angin puyuh besar pun datang. Meliuk-liuk ganas di atas laut.
Menyedot dan terus berputar. Kapal Dampu Awang ikut tersedot. Kapal Dampu Awang
terbang masuk ke dalam pusaran angin puyuh. Berputar-putar. Terus berputar dalam
pusaran angin puyuh.
"lbuuuuuu, tolong aku! Ini anakmu Dampu Awang!" Dampu Awang
berteriak ketakutan.
Sang Ibu tetap tidak bergeming.
Kapal yang berisi segala macam harta kekayaan itu dipermainkan
oleh angin. Berputar-putar. Dan akhirnya terlempar jauh ke selatan. Jatuh
terbalik.
Menurut penuturan masyarakat, kapal Dampu Awang yang karam
berubah menjadi Gunung Pinang. Gunung itu terletak tepat di samping jalur lalu
lintas Serang - Cilegon, kecamatan Kramat Watu, kabupaten Serang, propinsi
Banten. Hingga kini, setiap orang dengan mudah dapat menyaksikan simbol
kedurhakaan anak pada ibunya itu.
ASAL
MUASAL BATU KUWUNG
Oleh Endang Rukmana
DAHULU pernah hidup seorang saudagar kaya raya yang mempunyai
hubungan sangat erat dengan kekuasaan Sultan Haji. anak dari Sultan Ageng
Tirtayasa. Karena kedekatannya tersebut, sang Saudagar mendapat hak monopoli
perdagangan beras dan lada dari Lampung. Tak ayal, usahanya pun maju pesat.
Harnpir semua tanah pertanian di desa-desa yang berdekatan dengan
tempat tinggal sang Saudagar menjadi miliknya. la membeli tanah-tanah tersebut
dari para petani dengan harga yang rendah. Biasanva setelah petani-petani
tersebut tidak mampu lagi mernbayar hutang dengan bunga yang beranak-pinak dan
sudah habis jatuh tempo kepada sang Saudagar.
Selain itu, sang Saudagar diangkat menjadi seorang kepala desa di
ternpat tinggalnya. Tetapi ia menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan dengan
memungut pajak yang lebih tinggi dari tarif yang diharuskan. Karena kekayaan
dari kekuasaannya itu, ia menjadi orang yang sangat sombong dan seringkali
bertindak sewenang-sewenang.
Sang Saudagar juga sangat kikir. Apabila ada orang, lain tertimpa
musibah dan membutuhkan pertolongan, ia sama sekali tidak mau memberikan
bantuan. Bahkan saking pelitnya, ia tidak mau menikah meskipun umurnya telah
berkepala empat. Baginya. menikah dan memiliki anak adalah suatu pemborosan.
la hidup bermewah-mewahan, sedangkan orang-orang di sekitarnya
dirundung kemiskinan, sehingga sangat beralasan, jika hampir semua penduduk desa
membencinya. Untuk melindungi harta dan nyawanya saja, ia memelihara beberapa
orang pengawal pribadi.
Syahdan, suatu hari di desa tempat tinggal sang Saudagar kaya
raya itu, lewatlah seorang sakti yang menyamar sebagai seorang pengemis lapar
dengan kaki pincang. Sebelumnya, Orang Sakti ini sudah tahu mengenai perangai
buruk sang Saudagar, dikarenakan keburukannya sudah jadi obrolan rutin penduduk,
di pasar atau di warung-warung kopi. la datang ingin memberi pelajaran dan
menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir tersebut.
Maka, si Pengemis berkaki pincang yang tidak lain adalah seorang
sakti itu mampir menemui sang Saudagar di rumahnya yang besar dan mewah. Si
Pengemis mengutarakan maksudnya menemui sang Saudagar untuk meminta sedikit
makanan pengganjal perut dan sedikit kekayaan sebagai modal usaha.
Tetapi sang Saudagar memang sangat kikir. Bukannya memberi, ia
malah memaki-maki si Pengemis berkaki pincang.
"Hal pengemis hina, apa kau pikir kekayaan yang kumiliki sekarang
ini jatuh begitu saja dari langit, heh?!
Enak saja kau meminta-minta kepadaku, dasar pemalas!" hardik Sang Saudagar
seraya mendorong tubuh si Pengemis berkaki pincang, hingga jatuh tersungkur
mencium tanah.
Mendapat perlakuan seperti itu, si Pengemis berkaki pincang pun
murka. la memperingatkan bahwa sang Saudagar akan mendapatkan balasan yang
setimpal atas perbuatannya.
"Hai Saudagar yang sombong dan kikir, kau pun harus merasakan
betapa lapar dan menderitanya aku!" ujar si Pengemis berkaki pincang. Setelah
berkata demikian, segera si Pengemis berkaki pincang raib dari pandangan mata.
Melihat kejadian tersebut sang Saudagar terkejut bukan main.
Benar saja. Esok hari ketika sang Saudagar bangun dari tidur, ia
tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha
menggerakkan kakinya, tetapi tetap saja tidak bisa. Sang Saudagar pun panik. la
bertenak-teriak histeris. Para pengawal
pribadinya segera berdatangan mendengar teriakan sang Saudagar tersebut.
Jadilah sang Saudagar menderita kelumpuhan pada kedua kakinya. la
memerintahkan kepada pengawal pribadinya mencari tabib-tabib sakti untuk
mengobati kakinya yang lumpuh. Ia menjanjikan imbalan yang sangat tinggi bagi
slapa saja yang dapat menyembuhkannya.
Namun, meski sudah banyak tabib berusaha mengobati, tak satu pun
yang berhasil. Oleh sebab itu ia pun berjanji akan memberikan setengah dari
harta kekayaannya bagi siapa saja yang dapat menyembuhkannya dari
kelumpuhan.
Si Pengemis berkaki pincang mendengar janji tersebut. Maka ia pun
datang menemui sang Saudagar dan menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi sebab
kelumpuhan kaki sang Saudagar.
"Semua ini adalah ganjalan atas sifatmu yang kikir dan sombong.
Agar kakimu sembuh dari kelumpuhan kau harus melaksanakan tiga hal. Pertama, kau
harus bisa merubah sifat sombong dan kikirmu itu.
Kedua, kau harus pergi ke kaki Gunung Karang dan carilah sebuah
Batu Cekung. Lalu bertapalah kau selama tujuh hari tujuh malam di atas Batu
Cekung tersebut, tanpa makan dan minum. Dan ingat, apa pun yang akan terjadi
jangan sampai kau membatalkan pertapaan yang kau jalani.
Ketiga, apabila kakimu sudah sembuh seperti biasa, kau harus
memenuhi janjimu untuk merelakan setengah dari harta kekayaan tersebut kepada
orang-orang miskin di tempat tinggalmu". Setelah berkata demikian, lagi-lagi si
Pengemis berkaki pincang tersebut raib begitu saja dari pandangan mata. Sang
Saudagar pun sadar bahwa si Pengemis berkaki pincang tersebut bukan orang
sembarangan.
Kemudian berangkatlah sang Saudagar dengan menggunakan tandu yang
digotong oleh dua orang pengawal pribadinya, menuju ke kaki gunung Gunung
Karang. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan melewati jalan setapak yang
dikelilingi semak belukar dan pepohonan yang lebat, akhirnya sang Saudagar tiba
di kaki Gunung Karang dan melihat sebuah Batu Cekung yang dimaksud si Pengemis
berkaki pincang.
Karena perjalanan yang sangat melelahkan dan dilakukan tanpa
istirahat, kedua orang pengawal pribadi sang Saudagar jatuh pingsan. Padahal
Batu Cekung tersebut tinggal beberapa puluh langkah lagi jaraknya.
Terpaksa, dengan bersusah payah sang Saudagar merayap di tanah
untuk mencapai Batu Cekung tersebut. Lalu ia pun segera bertapa di atasnya.
Selama tujuh hari tujuh malam ia menahan rasa lapar dan haus karena tidak makan
dan minum, juga bertahan dari bermacam-macam godaan lainnya, seperti
binatang-binatang liar dan makhluk-makhluk halus yang datang mengganggu.
Pada hari terakhir pertapaan, keajaiban pun terjadi. Dari pusat
Batu Cekung tersebut menyemburlah sumber mata air panas. Sang Saudagar menyudahi
tapanya, lalu bersegera mandi dengan sumber mata air panas dari Batu Cekung tersebut. Keajaiban terjadi lagi,
kedua kakinya yang semula lumpuh kini dapat ia gerakkan kembali.
Seperti janjinya semula, maka sang Saudagar membagi-bagikan
setengah dari harta kekayaannya kepada orang-orang miskin di sekitar tempat
tinggalnya. Para petani di desanya diberikan
tanah pertanian sendin untuk digarap. la juga kemudian menikahi seorang gadis
cantik anak seorang petani miskin, yang menarik hatinya. Penduduk desa pun tidak
lagi membencinya, ia kemudian dikenal sebagai seorang saudagar yang
dermawan.
Apabila ada orang bertamu ke rurnahnya, sang Saudagar kerap kali
bercerita, perihal keajaiban sumber mata air panas Batu Cekung di kaki Gunung
Karang yang dapat menyembuhkan kelumpuhan kakinya. Lambat laun cerita dari mulut
ke mulut itu pun tersebar luas. Banyak orang yang tertarik untuk mendatanginya.
Konon, beberapa macam penyakit lain dapat sembuh apabila mandi dengan sumber
mata air panas Batu Cekung tersebut.
Kini, orang-orang mengenalnya sebagai objek wisata sumber mata
air panas "Batu Kuwung" (yang berarti batu cekung). Objek wisata yang belum
dikelola secara profesional ini, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Padarincang,
Ciomas, berlatar belakang kaki Gunung Karang.
LEGENDA
PRASASTI MUNJUL
Oleh Malvin Dwi Ruda
Perairan Ujung
Kulon
SEBUAH perahu nelayan berpenumpang tiga orang tampak melaju pelan
membelah pantai yang berair tenang. Siang itu matahari bersinar tak terlalu
terik sehingga angin yang bertiup pun terasa tak terlalu menyengat.
"Dengan hasil tangkapan sebanyak ini, kita bisa istiraltat satu
dua hari di darat." Salah seorang nelayan mengungkapkan kegembiraan hatinya
sambil menimang-nimang ikan hasil tangkapan mereka, senyumnya tampak begitu
cerah.
"Ya," jawab kawan yang ada di sebelahnya, "Ini kesempatanku untuk
bisa lebih lama berkumpul dengan isteriku."
"Tiap pulang, aku merasa istriku kian cantik saja dibanding ikan
apa pun!" sambut nelayan pertama lagi. Sementara Itu. lelaki pendayung yang
berada di belakang kedua temannya tampak menguping perbincangan kedua temannya
itu. Wajahnya tampak begitu polos dan dengan lugunya dia mengajukan pertanyaan
menyela pembicaraan kedua orang itu.
"Apa sih yang kalian bicarakan?"
Kedua temannya mendengar jelas pertanyaan dari lelaki pendayung
namun mereka menganggapnya sepi dan terus saja melanjutkan pembicaraan
mereka.
"Kau tahu? Aku bahkan sudah menyiapkan kuda laut!" kata orang
kedua. Dan disambut dengan penuh minat oleh orang pertama.
"Wah? Kau menangkapnya? Boleh minta satu?"
Belum sempat orang kedua menjawab pertanyaan itu, lelaki
pendayung yang merasa tak diacuhkan dengan tampang tak bersalah kembali
mengajukan pertanyaan.
"Apa ada hubungannya antara ikan dengan istri kalian?"
Pertanyaan lelaki pendayung kali ini mendapat reaksi, bahkan
lebih dari yang dia bayangkan. Kedua temannya memandang ke arahnya sambil
bersama-sama berkata-kata dengan suara keras. "Diam kau, Perjaka!"
Kedua temannya memandang lelaki pendayung dengan alis berkerut,
tampaknya mereka sudah merasa terganggu dengan pertanyaan lelaki pendayung.
Adapun halnya dengan lelaki pendayung sendiri, demi melihat reaksi kedua
temannya yang demikian itu, dia hanya bisa merungkut gugup sambil menggigit
batang dayung. Dia hanya berkata-kata dalam hati dengan penuh ketidakmengertian.
"Kenapa mereka marah" Rasanya tak ada yang salah dengan perkataanku."
Kedua teman lelaki pendayung lalu kembali melanjutkan
perbincangan mereka dan membelakanginya. Dengan wajah kesal lelaki pendayung
membuang muka dan mengumpat dalam hati. "Sombong! Mentang-mentang aku belum
punya isteri"
Pantai berpasir putih tempat mereka menyandarkan perahu sudah
terlihat. Perahu mereka kini melaju meyusuri sepanjang tepian pantai sebelum
akhirnya tiba di tempat tujuan. Namun saat mereka tiba di sebuah tikungan pantai
yang terlindung oleh pepohonan lebat, muncul sebuah perahu lain dari balik
tikungan itu. Mula-mula hanya bagian depan kapal yang terlihat dan lama kelamaan
terlihatlah seluruh bagian kapal itu. Kapal itu tidak terlalu besar namun bila
dibanding dengan perahu ketiga orang orang itu, ukurannya tiga kali lebih besar,
lengkap dengan tiang layar dan empat dayung di masing-masing sisinya.
Kapal yang muncul tiba-tiba itu seketika mengagetkan kedua teman
lelaki pendayung. Jarak mereka terlalu dekat dan mungkin sekali akan terjadi
tabrakan bila tidak segera dibelokkan arahnya. Keduanya berseru kaget. "I...
itu! "
Dengan tergagap, mereka berteriak pada lelaki pendayung.
"Belokkan perahu! Belokkan perahu!"
Adapun lelaki pendayung, kejadian tadi masih membuatnya kesal.
Dengan acuh tak acuh dia berpura-pura tak mendengar teriakan gugup temannya.
Sambil memandang ke lain arah dan memejamkan mata, dia asyik bersiul-siul.
Lelaki pendayung bermaksud hanya ingin membalas sikap kedua temannya tadi yang
tidak mengacuhkannya, namun balasannya ini tampak terlalu berlebihan, seharusnya
dia mendengar dan bisa membedakan antara perkataan biasa dengan
teriakan-teriakan gugup. Dan mungkin apabila dia melihat apa yang sebenarnya
tengah terjadi, sikapnya itu pasti akan sangat disesalinya kelak.
Tabrakan akan segera terjadi, kedua teman lelaki pendayung sudah
tak sempat lagi untuk berteriak-teriak kepada lelaki pendayung atau pun
melakukan perbuatan lain. Bahkan untuk menghindar dan menyelamatkan diri saja
mereka sudah tak ingat. Mereka merungkutkan badan dan menanti dengan pasrah
segala yang akan terjadi. Namun di saat-saat genting itu, kapal yang ada di
depan mereka tiba-tiba membelokkan perahunya dan tabrakan pun terhindar. Kapal
itu melaju searah dan berdampingan dengan perahu ketiga nelayan itu. Dan sebelum
ketiga nelayan itu menyadari, beberapa utas tali melayang dari arah kapal itu.
Lelaki pendayung masih asyik bersiul-siul dan tak menyadari kalau seutas tali
telah melayang di dekatnya. Tali itu tiba-tiba mendarat di tubuhnya dan berputar
ke arah leher. Lelaki pendayung terkejut dan melihat apa yang tengah menjalar di
lehernya, namun dia tak sempat berbuat apa-apa. Karena saat dia sadar dan tahu
apa yang melilit lehernya, tali yang pada ujungnya diikatkan sebuah pemberat
dari kayu itu tiba-tiba ditarik dengan kencang ke atas. Lelaki pendayung
tercekik dan tubuhnya terangkat mengikuti arah tarikan tali. Sementara itu,
tali-tali yang lain tampak melilit dan mengikat di beberapa bagian perahu.
Perahu tertarik ke samping dan membuat posisinya agak miring. Kedua teman lelaki
pendayung tahu dan sadar apa yang tengah terjadi pada perahu mereka namun mereka
belum mengerti apa maksud dari semua
itu. Mereka lalu memandang ke arah kapal di samping perahu mereka dan
mencari-cari kalau-kalau ada seseorang yang dapat ditanyakan.
Pencarian mereka segera terjawab. Di sana, di atas kapal, di
bawah sorotan matahari siang, sesosok tubuh tampak berdiri santai dan tampak
tengah mengawasi mereka. Kedua nelayan mengangkat tangan untuk menghalangi
silaunya sinar matahari saat mereka memandang ke atas, ke arah kapal tempat
sosok tubuh itu berada. Saat itu terdengar sosok itu berkata-kata kepada
mereka.
"Banyak juga tangkapan kalian! Kalian pasti tengah memikirkan
kesenangan sehingga tak menyadari kehadiran kami!"
Sambil memicingkan mata, salah satu nelayan memberanikan diri
mengajukan pertanyaan."Siapa kalian dan mau apa?"
Sosok itu menjawab sambil berkacak pinggang dan menepuk dada.
"Kami adalah perompak! Dan kami senang sekali mengganggu kesenangan orang!" Saat
itu sosok itu merendahkan dan memajukan tubuhnya sehingga wajahnya kini dapat
terlihat oleh para nelayan. Sosok yang mengaku perompak itu bertubuh tinggi
besar. Dia mengenakan baju sebatas pangkal lengan, baju itu terbuka dan tak
menutupi dadanya yang bidang dan berotot dengan bulu-bulu lebat, sementara
sebuah kalung besar berwarna kuning emas tampak menggantung di depan dadanya. Di
bagian bawah, dia hanya mengenakan selembar kain sebatas pertengahan paha.
Wajahnya yang ditumbuhi kumis tebal melintang dan jenggot lebat
tak terurus tampak bengis saat berkata-kata. Dengan rambut panjang sebahu dan
sebelah anting besar berwarna kuning emas juga, dilengkapi secarik kain ikat
kepala melilit keningnya dengan salah satu bagian menutup mata sebelah kiri.
"Serahkan milik kalian kalau ingin selamat!"
Dua nelayan tak bisa berkata-kata, tapi tiba-tiba saja terdengar
suara lantang menyambut ucapan perompak itu. "Enak saja! Susah payah kami mencari ikan di laut lalu kalian ingin
memintanya begitu saja? Huu!"
Semua mereka menoleh ke arah suara. Tampak lelaki pendayung
dengan wajah kesal memandang ke arah perompak itu. Dia tampak terlentang dengan
leher terikat tali. Dengan geram dia menarik-narik tali itu dengan tangan dan
kakinya membuat tubuhnya yang kurus itu tertekuk sedemikian rupa dan malah jadi
terlihat lucu. Perompak itu memicingkan mata. Dia lalu membuang muka ke arah
lain dengan acuhnya.
"Kalau begitu, kembalilah ke laut dan bersusah payahlah
lagi!"
Usai berkata begitu, dengan tenang perompak bertubuh katai itu
menyentakkan tali yang mengikat lelaki pendayung. Lelaki pendayung kontan
melotot dengan leher terjulur karena tercekik. Tubuhnya terangkat dari perahu
dan melayang ke depan lalu masuk ke dalam air.
Seorang perompak bertubuh katai melongok dari dinding kapal.
"Ooh! Mungkin ini artinya `berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian,
bersakit-sakit dahulu lalu berenang mati-matian', yaaa?!"
Sementara itu, tanpa membuang waktu, perompak bertampang seram
tadi segera memberi perintah kepada perompak-perompak lainnya. "Ayo pindahkan
ikan-ikan mereka ke kapal kita!"
Para perompak segera bergerak
mengikuti perintah itu. Seorang perompak bertubuh jangkung dan kurus menggamit
lengan perompak bertubuh katai."Ayo!"
Dengan lagak angkuh, si perompak bertubuh katai mengacungkan
telunjuknya di depan wajah. "Diamlah! Kalau itu, aku sudah tahu artinya!"
Tapi mendadak, seorang perompak yang berada di bagian belakang
kapal bertenak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah. "Ketua! Lihat di
sebelah sana!"
Semua menoleh ke arah yang ditunjukan oleh orang itu, dan di
kejauhan, tampaklah sebuah perahu yang berukuran dua kali lebih besar dari kapal itu tengah melaju tenang berlawanan
arah dengan kapal mereka. Seketika, perompak bertampang bengis yang dipanggil
ketua itu melonjak-lonjak sambil menari kegirangan.
"Wah! Ini baru tangkapan besar!"
Perompak katai menyilangkan tangan di depan dadanya sambil
berkata angkuh. "Tak masalah bagiku!"
Dengan penuh semangat, ketua memberi perintah baru kepada anak
buahnya sambil menunjuk ke arah kapal besar tadi. "Marl kita rusak kesenangan
mereka!"
Seorang perompak bertubuh gemuk menarik tali yang tadi mengikat
si pendayung. "Maaf, yah! Jangan marah! Talinya kami ambil kembali!" Dia
menyentakkan tali itu dan seketika leher si pendayung terbebas sudah dari
jeratan tali itu. Sambil berenang, lelaki pendayung menarik nafas lega. Dia
segera menuju perahunya dan berpegangan di tepi perahu. Namun seketika itu juga,
kedua temannya segera mengambil kesempatan untuk kabur. "Cepat kita pergi!"
Tanpa menunggu lelaki pendayung naik kembali ke perahu, mereka segera mendayung
perahu itu dengan cepat sementara yang satunya lagi mendayung dengan menggunakan
kedua tangannya. Lelaki pendayung dengan kelabakan berteriak-teriak kepada
teman-temannya. Dia memegang tepi perahu dengan kencang saat perahu mulai
melaju. Air laut bercipratan ke wajah lelaki pendayung.
Sementara itu, di kapal besar yang berbendera dengan lambang
naga, seorang pria bertubuh agak gemuk dengan pakaian bangsawan kerajaan keluar
dari bagian dalam kapal. Saat itu seorang pria lain tampak menghampiri sambil
menundukan tubuhnya.
"Ada apa, Laksamana?" tanya bangsawan itu. Yang
ditanya menjura dulu sebelum akhirnya menjawab. "Ada dua perahu di depan kita, Sang
Menteri!"
Sang Menteri meninggikan kepalanya memandang ke depan. Lalu
katanya lagi. "Biarkan saja! Tapi bila mereka berbuat sesuatu yang mencurigakan,
kau tahu apa yang harus dilakukan!" Laksamana menjura lagi. "Hamba, sang
Menteri"' Sang Menteri mengangguk lalu memandang lagi ke depan, kemudian dia
berjalan masuk kembali ke bagian dalam kapal.
Beberapa lama kemudian, kedua perahu saling berdekatan dan
berpapasan. Para perompak berdiri di sisi kapal
mereka. Para pendayung yang berada di kapal
besar melongok ke rah mereka sambil mengangguk ramah. Salah seorang pendayung
tampak berbisik kepada temannya. "Tampang mereka aneh-aneh, yah?" Temannya
mengangguk dan melongok pula. Sambil mengangkat tangan dengan senyum lebar, dia
menyapa perompak itu. "Hai, para nelayan! Apa kabar?"
Baru saja habis berkata-kata, seutas tali tiba-tiba melayang ke
arah lehemya. Belum sempat dia menyadan hal Itu, tali sudah ditarik orang dan
dan membelit ke arah leher dan kemudian disentakan. Seketika si pendayung ini
tercekik dengan lidah terjulur dan tubuhnyan tertarik pula ke depan. Lelaki
pendayung tercebur ke dalam laut. Yang menarik tali itu adalah perompak bertubuh
gemuk. Saat berhasil menceburkan lelaki pendayung, perompak katai bertanya
padanya. "Apa itu artinya: tak ada basa-basi bagi perompak?"
Yang ditanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jari.
"Betul!"
Laksamana bertanya marah kepada perompak itu. "Hei! Apa yang
kalian lakukan?"
Ketua perompak menjawab. "Kami adalah perompak yang menguasai
perairan ini. Disambut oleh perompak bertubuh katai. "Betul!"
Laksamana berkata lagi. "Tahukah kalian? Kapal ini adalah milik
kerajaan Tarumanegara! Dan di dalamnya ada seorang menteri Kerajaan!"
Ketua perompak membuang muka sambil berkata acuh. "Tidak
peduli!"
Disambut kembali oleh si katai. "Itu artinya: kami akan tetap
merampok kapal kalian!"
Baru habis kata-kata itu, si ketua perompak memberi perintah
kepada anak buahnya. "Seraaaaaang!"
Melihat hal itu, sang Laksamana mencabut kerisnya dan memberi
perintah pula kepada para awak kapalnya. "Pertahankan kapal dan lindungi sang
Menteri sampai titik darah terakhir!"
Beberapa minggu kemudian.
Tampak dua orang tengah memancing di tepi pantai. Keduanya
mengenakan pakaian seperti umumnya orang-orang pada masa itu, yaitu sehelai kain
polos yang diikatkan di pinggang dan hanya menutupi tubuh bagian bawah. Orang
yang bertubuh tinggi besar dan berparas cakap dengan rambut tergerai sebatas
pundak tampak menyentakan pancingnya. "Dapat lagi!" katanya. Tak jauh di
sampingnya temannya yang bertubuh jauh lebih kecil dan jauh lebih pendek dengan
rambut digelung ke atas hanya bisa memandang dengan kesal. "Huh!" Tapi mendadak
wajahnya berubah cerah. Dia merasa pancingnya ditarik. "Nah! Setelah sekian
lama. akhirnya kau makan juga umpanku!" Dia bersiap-siap untuk menarik
pancingnya. Temannya yang bernama Bhimaparakrama atau biasa dipanggil Bhima,
mendekat dan bertanya.
"Ada apa, Wamana? Ada yang memakan umpanmu?"
Yang ditanya menjawab sombong. "Tentu! Kau kira cuma kau
saja?"
Wamana lalu mulai menarik. Tapi dirasanya keras. Wamana
menariknya lebih kencang namun tak juga berhasil. Dengan mengerahkan tenaganya
lebih keras lagi pancing itu ditariknya, tapi hasilnya tetap sama. Bhima
mendekat dan bertanya lagi. "Kenapa? Ada masalah?"
Wamana terus menarik pancingnya. "Berisik! Lihat saja,
tangkapanku pasti jauh lebih besar dari semua yang sudah kau dapat!" Wamana lalu
menyentakkan pancingnya. Kali ini dia berhasil. Tapi tiba-tiba Bhima menutup
mulutnya sambil menahan tertawa.
"Pantas saja keras sekali! ternyata memang besar! Hahaha!"
Wamana kesal sekali karena sikap temannya itu, lalu dia melihat
ke mata pancingnya dan seketika dia terkejut. Seekor kepiting tampak menggantung
di sana. Bukan
ikan seperti apa yang dikiranya. "Hah?"
Dengan geram, Wamana mengangkat dan memutar-mutar pancingnya. Tak
puas dengan itu, dia lalu membanting pancingnya dan berjalan mendekat ke arah
Bhima. Lalu tanpa basa-basi lagi dia segera mengangkat pancing Bhima untuk
kemudian dihempas-hempaskannya ke air. Melihat ulah Wamana, Bhima hanya bisa
berteriak-teriak melarang. "Hei! Hei! Jangan ganggu kailku!"
Pada saat itu, Bhima mendengar air berkecipak. Dia mencan-cari
sumber suara itu, dan tak berapa jauh dari tepi pantai, terlihat sesuatu
terombang-ambing mengapung di atas air. Dia menajamkan pandangannya, lalu
setelah yakin kalau yang terombang-ambing bukan hanya sekedar kayu atau onggokan
benda tak berarti lainnya, dia menggapai ke arah Wamana. "Wamana! Berhenti!
Lihat di sana!"
Wamana tidak perduli. "Masa bodoh! Tidak maul"
"Tampaknya ada orang hanyut! Aku mau menolongnya!" kata Bhima
sambil berjalan ke arah pantai sementara Wamana melanjutkan marahnya. Bhima
turun ke air dan menghampiri benda yang terapung itu. Begitu dekat, ternyata
dugaannya tepat. Seseorang tampak tertelungkup di atas tameng kayu. "Benar!
Orang hanyut! Masih hidup atau ...."
Bhima mengangkat kepala orang itu. Dia merasakan kalau orang
tersebut masih menghembuskan nafas. "Dia masih hidup!"
Bhima mengangkat orang itu untuk segera memberi pertolongan,
namun dia melihat tameng yang dipakai orang hanyut itu. Seketika dia terkejut.
Bhima berubah pikiran, dia meletakan tubuh orang ke atas tameng. Lalu dengan
tenaga yang luar biasa, dia mengangkat orang itu lagi berikut tamengnya dengan
menggunakan sebelah tangan.
Wamana melihat temannya menghampiri namun dia tetap acuh tak acuh
sambil duduk di pinggir pantai. Lalu didengarnya Bhima berkata. "Ini prajunt
kerajaan Tarumanegara, Wamana! Kita harus membawanya ke istana!"
Wamana menutup wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Bagus! Sempurnalah sudah kesialanku!"
Istana Kerajaan
Tarumanegara
Sang Purnawarman tampak duduk di singgasananya dihadapi para
pembesar kerajaan saat menerima berita yang disampaikan oleh prajuntnya yang
kini duduk di hadapannya didampingi Wamana dan Bhimaparakrama.
Wajah sang Purnawarman terlihat murung. "Betul-betul kejam dan
biadab!" Berulang-ulang dia menarik napas resah sambil sekali-sekali mengguman.
"Malang sekali
nasib menteriku serta para pengawalnya!"
Seperti berkata pada diri sendiri, sang Purnawarman terus saja
menggumam. "Padahal para perompak itu sudah diingatkan bahwa kapal itu adalah
milik kerajaan. Tapi tetap tak diperdulikan dan mereka tetap merampoknya!"
Sang Purnawarman menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa saat
lamanya dia tenggelam dalam diam. Namun mendadak sekali wajahnya terlihat
mengeras saat dia mengangkat kepalanya lagi sambil menepuk pangkal sandaran
singgasana dengan agak keras.
"Baiklahl Aku harus melakukan tindakan tegas untuk masalah
ini!"
Semua yang hadir menundukan kepala saat sang Purnawarman bangkit
dari singgasana dan berdiri menyebar pandangan ke arah para bawahannya.
"Demi keamanan dan kelancaran perairan di wilayah kerajaan
Tarumanegera ...."
Semua yang hadir kian dalam tertunduk saat sang Purnawarman
melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih lantang. Tangan kiri memegang
dada sementara yang kanan direntangkan lebar.
"Dengan ini, aku nyatakan perang terhadap bajak laut! Dan aku
sendiri yang akan mernimpin penyerangan
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Bagian Gelap Bulan Maga
(Januaril Februari) tahun 321 Caka (403 Masehi), sang Purnawarman melancarkan
perang terhadap bajak laut yang merajalela di perairan barat dan utara.
Puluhan kapal perang kerajaan berbaris meninggalkan pelabuhan
kerajaan Tarumanegara. Di bagian depan Kapal terbesar, dengan pakaian besinya,
berdiri dengan gagahnya Sang Purnawarman didampingi sang Panglima Cakrawarman
dan Sang Senopati Sarwajala, Nagawarman.
Beberapa hari kemudian, di tengah lautan.
Malam telah lama melewati puncaknya. Langit gelap tanpa bi ntang
dan tanpa cahaya rembulan. Yang ada hanyalah kegelapan yang pekat dan mencekam.
Namun di kejauhan, seperti hampir sejajar dengan garis cakrawala, tampak dua
buah titik cahaya kecil yang terayun-ayun di tengah lautan. Kiranya cahaya itu
berasal dari dua buah kapal yang agak besar yang tengah melempar sauh. Dilihat
dari dekat, hanya satu dari dua kapal itu yang masih menandakan adanya kegiatan.
Dan dari kapal itu, sayup-sayup sampai terdengar suara orang berkata-kata dibawa
angin yang berhembus timbul tenggelam.
"Kalah lagi! Sudahlah! Lebih baik aku tidur saja."
Dari sekian banyak awak kapal, hanya tiga orang yang masih
terbangun. Mereka berkumpul membentuk setengah lingkaran di antara puluhan orang
lain yang berbaring di sana-sini. Di bawah penerangan sinar lampu damar yang
samar, mereka menghadapi selembar kulit bergambar beberapa jenis hewan laut yang
dihamparkan di lantai kapal. Salah seorang dari
mereka memegang sebuah cangkang kelapa yang dibentuk sedemikian rupa
menyerupai mangkuk yang sudah dihaluskan. Perangkat seperti itu merupakan sebuah
alat untuk permainan judi pada masa itu. Di dekatnya, di depan masing-masing
orang, berceceran sejenis mata uang logam yang digunakan untuk memasang
taruhan.
Saat itu, lelaki yang memegang cangkang kelapa tampak berkata
pada temannya. "Jangan marah begitu! Ayo pasang sekali lagi! Kali ini pasti
dapat! Udang? Kepiting? Keong?"
Yang diajak bicara malah melongok keluar jendela.
"Sejak sore tadi kau bilang begitu! Dan ini sudah hampir
pagi!"
"Siapa tahu kalau sekarang saat kemujuranmu tiba?" sahutnya
lagi.
Tapi orang yang satu itu malah merebahkan diri sambil sebelumnya
berkata dengan suara yang agak keras. `Maimah sendiri."
Tiba-tiba, kawan-kawan mereka yang tengah tertidur mendadak
terjaga dan muka kesal mereka semua serempak berteriak kepada mereka yang masih
terjaga. "Berisik! Kalian mau kami rampok?"
Mereka yang bermain seketika merungkut. Tapi mendadak mereka
dikagetkan oleh suara-suara desingan yang begitu ramai. Dan sebelum mereka
sempat berbuat sesuatu, dinding kapal tempat di mana mereka saat itu berada,
tiba-tiba ditembus oleh mata tombak-mata tombak yang menyembul masuk hingga ke
bagian dalam. Para perompak itu kaget setengah
mati. Salah seorang dari mereka bertindak cepat dan melompat ke arah jendela
untuk melihat keluar dan mencari tahu apa yang tengah terjadi, mendadak, dia
tersurut.
Beberapa puluh meter dari kedua kapal bajak laut, terlihat
lampu-lampu yang berjejer membentuk lingkaran mengelilingi kedua kapal itu.
Sekilas, memang terlihat indah. Tapi yang membuat salah seorang bajak laut itu
tersurut adalah bukan karena keindahan itu, melainkan karena setelah dia
mengawasi lebih jelas dan menyadari bahwa lampu-lampu itu berasal dari
kapal-kapal kerajaan. Dan kini kapal-kapal itu telah mengepung mereka dengan
rapat. Dengan wajah pucat dan gemetaran, salah seorang bajak laut Itu berkata
lemas pada teman-temannya.
"Kita -- telah-dikepung"'
Sementara itu, di salah satu kapal terbesar dari armada kapal
kerajaan yang saat itu memang telah mengepung dua kapal bajak laut. Sang
Purnawarman, Sang Senopati Sarwajala dan Sang Panglima Cakrawarman tengah
menanyai salah seorang prajurit dari pasukan pengintai.
"Prajurit. betulkah ini kapal-kapal bajak laut itu?"
Prajurit itu menjura.
"Betul. Sang Senopat'!"
Sang Purnawarman mengangguk-angguk.
"Kalau begiitu, beri aba-aba untuk menyerang, Paman
Senopati!"
"Baik. Sang Prabu!"
Senopatt Sarwajala memberi aba-aba kepada peniup terompet untuk
segera membunyikannya sebagai tanda untuk mengawali penyerangan. Peniup terompet
menjura lalu mulai meniup.
Nguuungggg!
Suara terompet menggema di tengah lautan, para pemimpin pasukan
di tiap-tiap kapal segera memberi perintah kepada pasukannya.
"Tembak!"
Seketika, ratusan tombak dan panah dilepaskan. Kilauan mata
tombak dan panah dalam kegelapan tampak begitu menggidikkan saat meluncur cepat
mencari sasaran. Suara-suara kayu hancur dan jeritan orang-orang yang terkena
tombak dan panah itu tumpang tindih berbaur menjadi satu saling atas mengatasi
membuat suasana yang tadinya sepi dan tenang berubah menjadi hiruk pikuk. Tak
ada perlawanan yang berarti. Sebelum matahari muncul di ufuk timur, gerombolan
bajak laut itu sudah dapat ditaklukan. Mereka yang menyerah dijadikan tawanan
oleh pasukan kerajaan Tarumanegara.
Saat itu, Wamana bersama Bhima dan para prajurit lain tengah
berada di kapal bekas milik para bajak laut untuk mencari sisa-sisa gerombolan
yang mungkin masih bersembunyi. Setelah lama mencari dan tak bertemu, mereka
akhirnya mengakhiri pencarian. Saat akan meninggalkan kapal bajak laut itu untuk
kembali ke kapal mereka masing-masing, tiba-tiba telinga Wamana menangkap sebuah
suara yang mencurigakan.
Wamana menghentikan langkahnya. Suara itu terdengar begitu samar
dan hanya terdengar sekali saja, tapi Wamana terasa begitu yakin kalau itu
bukamah suara gesekan kayu atau semacamnya. Wamana berniat hendak memanggil
Bhima, tapi Bhima terlihat sudah berada agak jauh darinya. Dengan penasaran,
Wamana masuk kembali ke bagian dalam kapal sambil mengendap-endap. Dalam
keremangan cahaya lampu yang bersinar lemah, Wamana menajamkan pandangannya dan
mencari. Namun walau bagaimanapun telitinya Wamana mencari, tetap saja dia tak
menemukan apa yang dicarinya, jangankan manusia, kecoa pun tak tampak di
sana. Dengan
kecewa, Wamana melangkah keluar dari ruangan itu. Tapi mendadak, suara itu
terdengar lagi. Tak terlalu keras memang, tapi itu sudah cukup memberi petunjuk
kepada Wamana untuk mengetahui arah dari ruangan itu. Wamana merebahkan tubuhnya
sejajar dengan lantai ruangan, dengan cermat dia mulai meraba. Dan wajah Wamana
mendadak berubah cerah saat tangannya merasakan ada celah tipis pada lantai yang
tampaknya rata itu. Suara engsel yang lama tak diberi pelumas segera terdengar
saat Wamana mengangkat dan mencongkel celah tipis yang berfungsi sebagai penutup
itu dengan menggunakan ujung pedangnya. Cahaya lemah menembus ke dalam lubang
yang menganga di bawahnya. Wamana terdiam sebentar. Dia berpikrr dan
menimbang-nimbang.
"Apakah aku harus masuk ke sana.' Tapi sendirian? Amankah? Atau..."
Terdengar suara desiran pelan dari balik kegelapan lubang yang
menganga itu. Wamana membentak.
"Siapa itu?"
Tak ada jawaban. Wamana mengulang pertanyaannya.
"Siapa itu? Jawab atau kupanggilkan para prajurit lain!"
Mehdadak sekali, seraut wajah muncul di ambang lubang. Wamana
terkejut dan jatuh terduduk, tapi dia segera menguasai dirinya.
"Siapa kau? Apakah kau anggota gerombolan bajak laut itu`'"
"Bukan! Aku adalah prajurit kerajaan!"
"Apa yang kau lakukan di dalam sana? Aku tak percaya! Naiklah ke sini agar aku
bisa melihatmu dengan jelas! Dan awas, jangan mencoba untuk berbuat
macam-macam!"
"Aku sedang buang air kecil! Tunggulah sebentar, aku akan
naik!"
Wamana mengerenyitkan kening. "Apa tidak salah?"
Orang itu naik. Wamana melihat orang tersebut memang berseragam
prajurit kerajaan Tarumanegara. Namun tiba-tiba Wamana mundur sambil menutup
hidung. Prajurit itu melihat reaksi Wamana tapi dia terus melangkah mendekati.
Wamana terus mundur hingga akhirnya punggungnya membentur dinding.
Wamana mengangkat tangannya. "Cukup! Jangan maju lagi! Kau amis
sekali!"
Prajurit itu tersenyum dan terus maju, tetapi begitu dekat dengan
Wamana, dia tiba-tiba membelokkan arahnya ke pintu keluar. Wamana mengintip
melalui sela jari-jarinya dan dia menarik napas lega. Tapi itu hanya sesaat,
karena selanjutnya dia melihat prajurit itu berjalan ke tepi kapal dan langsung
terjun ke dalam air. Wamana berteriak memanggil. "Hei, jangan!"
Terlambat. Karena beberapa detik kemudian dari bawah kapal
terdengar suara sesuatu yang masuk ke dalam air. Wamana berlari mengejar dan
memanggil-manggil dengan perasaan bersalah. "Prajurit! Jangan marah! Aku tak
bermaksud menghinamu! Keluarlah dari dalam air dan naiklah! Aku tak tahu kalau
kau begitu cepat putus asa!"
Saat itu, Bhima dan beberapa prajurit yang juga mendengar suara
tadi sudah tiba di sisi Wamana. "Ada apa, Wamana? Suara apa tadi? Apa ada yang
tercebur?"
Wamana mengangguk sedih. "lya. Seorang prajurit!"
Tanpa banyak berkata lagi, Bhima langsung meloncat terjun ke
dalam air. Beberapa saat lamanya Bhima menyelam mencari-cari, tapi dia tak
menemukan seorang pun di bawah sana. Karena penasaran, Bhima mencari hingga
dasar samudera namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya Bhima muncul kembali ke
permukaan. "Tak ada seorang pun di bawah sana!".
Wamana tersengguk dan mulai menangis. Beberapa prajurit yang ada
di sampingnya berusaha membujuknya.
Sementara itu, Sang Purnawarman beserta para panglima tengah
menanyai satu dari sekian bajak laut yang berhasil ditawan. "Mana pimpinan
kalian?"
Yang ditanya menggeleng. "Kami tak tahu."
Panglima Cakrawarman mendekati bajak laut. "Kau tahu tengah
berhadapan dengan siapa?"
Bajak laut itu menjura dengan penuh ketakutan. "Tapi kami memang
benar-benar tidak tahu!"
Sang Purnawarman berkata lagi. "Baiklah. Bila benar pemimpinmu
itu tak ada di sini. Tapi, untuk memastikan apakah pemimpinmu itu masih hidup
atau sudah mati, aku ingin kau katakan bagaimana ciri-cirinya!"
Seketika dan tanpa berpikir panjang lagi, bajak laut itu
menjawab.
"Dia berbau amis dan berpenyakit asma!"
Panglima Cakrawarman membentak."Jangan main-main! Kau kira dia
itu ikan? Yang kami maksud ciri-ciri itu adalah bagaimana sosok pemimpinmu
sebenarnya!"
Dengan ketakutan, bajak laut menjawab. "Susah untuk mengatakannya. Dia selalu berganti rupa
sehingga sulit untuk menjelaskan ciri dari sosoknya!"
Sang Panglima membentak lagi. "Cukup! Kau telah mempermainkan
Sang Prabu dan akan mendapat hukuman yang setimpal karenanya!"
Bajak laut merungkut ketakutan. "Tapi memang itulah yang
sebenarnya!"
Sang Panglima memberi isyarat agar bajak laut itu segera dibawa
pergi. Bajak laut berusaha meyakinkan agar kata-katanya dapat dipercaya, tapi
dua prajurit segera menghampiri dan membawanya pergi. "Ampun, Sang Prabu! Kami
tidak berbohong! Itulah yang sebenarnya! Ampuni kami!"
Selanjutnya dari 80 orang bajak laut, sebagian terbunuh dalam
penyerangan oleh armada Kerajaan Tarumanegara sedangkan sisanya sebanyak 52
orang dapat ditawan. Lalu, seorang demi seorang, bajak laut yang ditawan itu
dibunuh dengan berbagai cara dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut.
Matahari baru saja muncul. Sinar keemasan mewarnai angkasa.
Suasana yang teduh dan sejuk mengiringi armada kapal kerajaan Tarumanegara yang
telah tiba di Pantai Teluk Lada. Kapal-kapal ini melaju menyusuri aliran sungai
Cidangiang dan masuk ke pedalaman. Penduduk bersorak menyambut kedatangan
pasukan kerajaan yang baru saja berhasil menumpas gerombolan perompak yang biasa
menghantui dan berkeliaran mengganggu keamanan penduduk setempat.
Sang Purnawarman dan para panglimanya turun dan kapal dan
disambut oleh tetua kampung setempat sedangkan para prajurit diizinkan turun ke
darat untuk sekedar melepas lelah dan beristirahat setelah sekian lama berada di
lautan dan berperang semalaman. Bhima dan Wamana tampak bergabung dengan
penduduk setempat. Mereka berbincang-bincang dan saling bertukar cerita. Saat
itu, Wamana yang sedang tertawa-tawa, tiba-tiba terdiam. Matanya mendelik dan
cuping hidungnya bergerak-gerak. Lalu dia berdiri dengan tiba-tiba sambil
menoleh ke sana
kemari. Bhima dan yang lainnya menjadi heran melihat perubahan sikap Wamana itu.
Wamana berjalan ke sana kemari sambil bertingkah seperti
mencium-cium ke segala arah.
Beberapa orang yang melihatnya saling berpandangan dengan heran.
Saat kembali ke tempat semula, Wamana seperti tampak tengah berpikir keras.
Alisnya berkerut tajam sementara kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggumam.
"Aneh!"
Bhima tak dapat menahan rasa ingin tahunya. "Ada apa denganmu,
Wamana?"
Wamana masih saja bertingkah sama. "Aneh!"
"Apanya yang aneh, hei?" Tanya Bhima lagi sambil mencolek lengan
Wamana.
"Aku seperti mencium bau yang sama."
"Bau? Bau apa?"
"Bau prajurit yang tadi malam kulihat tercebur ke laut!"
Kali ini Bhima ikut mengerutkan kening. "Jangan bercanda, Wamana.
Kau maksud prajurit yang tadi malam tenggelam itu?"
Wamana mengangguk cepat. "Iya"
"Bukankah kau lihat sendiri, aku tak dapat menemukannya walaupun
sudah kucari hingga ke dasar laut. Apa mungkin dia selamat? Mungkinkah dia sudah
lebih dulu naik ke kapal tanpa kita mengetahuinya?"
"Mungkin. Tapi saat kucari-cari aku tak melihat seorang pun yang
bahkan mirip dengannya, apalagi dirinya."
"Kau tidak melihatnya, tapi kau dapat mencium baunya. Apa kau
pikir yang datang tadi itu adalah hantunya" Mana mungkin, ini sudah siang,
banyak orang lagi!"
"Lalu, bau apa atau siapa yang tadi kucium? Sayang, bau itu sudah
keburu hilang sebelum aku sempat berbuat lebih banyak!"
"Bau ini, Wamana. Bau seperti apakah yang kau cium?"
"Amis"
Bhima mulai tcrsenyum. "Amis? Maksudmu seperti bau ikan" Bukankah
itu wajar mengingat tempat ini adalah tepian pantai dan juga perkampungan
nelayan?"
Wamana dengan mimik serius tetap mempertahankan keyakinannya.
"Bukan, Bhima. Aku kenal betul bau ini!"
Saat itu, Sang Senopati Sarwajala berdiri di tengah-tengah
kampung dan memanggil para prajurit untuk berkumpul karena ada pengumuman yang
hendak disampaikannya. Setelah itu, dia pun mulai angkat bicara.
"Segenap penduduk dan prajurit Tarumanegara. Ada hal penting yang akan
kami sampaikan atas perintah Sang Prabu Purnawarman. Dari hasil pembicaraan
antara Sang Prabu dan Tetua Kampung ini, maka terciptalah suatu rencana untuk
mengabadikan peristiwa keberhasilan membasmi gerombolan perompak yang selama ini
telah mengusik keamanan di perairan ini dan juga sebagai ungkapan terima kasih
dari Sang Prabu atas kesediaan
masyarakat di sekitar sungai Cidangiang untuk bersama-sama saling membantu
menjaga ketentraman di perairan ini demi kepentingan bersama-sama Juga. Sudah
sepantasnya kerajaan dan masyarakatnya saling bahu membahu demi kemajuan negara.
Dan akhirnya, semua keberhasilan ini tidak akan terjadi tanpa dukungan dan
bantuan serta kerjasama antara kerajaan dengan masyarakat".
Kalimat sang Senopati itu disambut dengan tempik sorak dari
segenap prajurit dan penduduk. Kemudian, diperintahkan para prajurit serta
penduduk setempat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara para
lelakinya bekerja, para wanita memasak makanan untuk dihidangkan nanti. Suasana
di kampung itu menjadi begitu ramai. Puluhan kerbau dikumpulkan di tengah tanah
lapang untuk disembelih dan sebagian lagi untuk dihadiahkan kepada penduduk.
Saat tiba waktu makan siang, para lelaki yang bekerja
beristirahat dan mencari tempat yang teduh untuk bernaung dan melepas lelah.
Anak-anak penduduk berlarian rnembawakan air minum di dalam kendi-kendi tanah
dan potongan-potongan barnbu. Tak lama kemudian. para wanita datang membawakan
santapan untuk makan siang. Para pekerja
langsung menyambut dan mulimkan dengan lahap.
Di pondok kediaman sang Tetua kmpung dimana para panglima dan
sang Purnawarman berada, hidangan telah pula diantarkan oleh para wanita. Di
dekat anak tangga pondok sang Tetua kampung, tampak Bhim dan Wamana berbaur
dengan para pekerja lainnya dan tengah menyantap hidangan. Wamana tampak makan
dengan lahap hingga remah-remah makanan bertempelan di sekitar mulut dan
pipinya. Dari barisan para wanita yang membawakan hidangan ke pondok Tetua
kampung, tampak seorang gadis muda cantik di antrian paling belakang. Dengan
lenggang lenggoknya yang gemulai, dia melemparkan senyum manisnya kepada para
pekerja sambil mengapit dua buah kendi air di tangan kanan-kirinya. Tiba di
tangga pondok, gadis itu melirik sekilas pada Wamana yang masih sibuk dengan
makanannya. Tapi beberapa saat setelah gadis itu melewati tangga, Wamana
tiba-tiba terhenyak. Dia menghentikan suapan ke mulut dan berhenti mengunyah.
Kepalanya terangkat dan matanya terbuka lebar. Beberapa helaan napas Wamana
terpaku, cuping hidungnya bergerak kembang-kempis. Bhima yang melihat sikap
Wamana itu bertanya.
"Ada apa Wamana? Kau tersedak? Makanya, kalau
makan jangan terlalu lahap!" Wamana seperti tak mendengar pertanyaan Bhima. Dia
malah memegang lengan Bhima dengan kencang.
"Bhima, kau cium bau itu?"
"Bau apa?" tanya Bhima sambil menajamkan penciumannya. ",Aku tak
mencium bau apa-apa selain bau daging yang kita makan, dan bau keringatmu!"
Wamana tiba-tiba meletakkan makanannya dan bangkit berdiri sambil
bercelingukan dia bertanya kepada Bhima dengan terburu-buru.
"Siapa orang yang terakhir lewat dekat kita?"
Bhima mengangkat bahu sambil menoleh ke sekeliling. "Kau lihat
sendiri, mereka semua sedang makan. Sama seperti kita. Kecuali..."
"Kecuali siapa?" desak Wamana dengan bernafsu.
"Para wanita yang mengantarkan
hidangan ke dalam Pondok ini. T api kenapa?"
Tanpa rnenghiraukan pertanyaan Bhima lagi, Wamana segera bergerak
cept ke dalam pondok. Dia melompati anak tangga dengan langkah-langkah
lebar.
'Mau apa" dia masuk ke dalam? Bisa-bisa dia akan mengganggu
selera makan orang-orang yang ada dI sana!"
Berpikir demikian, Bhima segera bangkit menyusul Wamana.
Di dalam pondok, para wanita yang membawakan makanan telah mulai
keluar satu per satu. Mereka berpapasan dengan Wamana. Dan mereka kaget karena
Wamana memandang mereka dengan tajam sambil mendekatkan wajahnya ke tubuh para
wanita itu. Para wanita memandang heran sambil
melanjutkan keluar dari dalam pondok. Wamana masuk ke bagian dalam ruangan di
mana Tetua kampung, Sang Purnawarman dan para Panglima tengah berkumpul dan
bersiap-siap untuk menyantap makanan yang telah dihidangkan. Di sana dia melihat hanya
tinggal satu orang wanita yang tengah menaruh kendi air di atas lantai. Semua
yang ada di dalam, kecuali si wanita, melihat kedatangan Wamana. Tapi Wamana
malah menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Dengan berjingkat dia berjalan
mendekati si wanita dari belakang. Sang Purnawarman serta para Panglima yang
telah mengenal Warnana dan sudah tahu bagaimana sifatnya, hanya terdiam sambil
tersenyum melihat tingkah Wamana itu.
Tepat pada saat si wanita selesai meletakkan kendi dan bangkit
berdiri, Warnana melompat dan menerkam tubuh si wanita. Tubuh wanita itu
terdorong dan terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh Wamana. Dengan
bemafsu Wamana berseru sambil menekan kepala si wanita ke lantai. "Kena kau
sekarang!"
Lalu kaki Wamana bergerak menendang dua kendi air yang tadi
dibawa si gadis dengan keras sehingga terpental dan pecah. "Air itu telah
dicampur racun!"
Tetua kampung hanya terbengong melihat kejadian itu. Sang
Panglima Cakrawarman menegur Wamana. "Wamana, apa yang kau lakukan? Apa kau tak
memandang Sang Prabu dengan berbuat keributan seperti ini? Kali ini, leluconmu
tidaklah lucu!"
Dengan masih sambil menekan kepala si gadis, Wamana menjawab
ucapan Sang Panglima.
"Memang tidak lucu, karena hamba memang tak bermaksud bercanda.
Tapi apakah Yang Mulia semua tidak merasa terganggu dengan bau amis ini?"
Seketika yang ada di dalam ruangan mengendus-ngendus.
"Bau amis? Aku memang baru membauinya. Tapi kukira itu hanyalah
aroma dari masakan ini saja. Lalu kenapa?" tanya Sang Purnawarman.
Wamana tidak segera menjawab. Tapi dia malah memukul punggung
gadis itu dengan keras hingga si gadis terbatuk-batuk dengan payah dan nafas
tersengal-sengal.
"Bagaimana pula dengan ini?" tanya Wamana lagi.
Semuanya saling berpandangan tak mengerti akan apa yang dimaksud
Wamana.
"Mengapa kau memukulnya sekeras itu? Apa salahnya sehingga kau
begitu kasar pada seorang wanita?"
Pada saat itu Bhima pun masuk ke dalam ruangan. Dia menjura saat
Sang Purnawarman dan para Panglima menoleh ke arahnya.
"Ampun, Sang Prabu. Maafkan sikap hamba dan kawan hamba ini bila
telah berbuat lancang di hadapan Sang Prabu!"
Sang Purnawarman mengangguk. "Aku tak mengerti. Apa yang terjadi
dengan Wamana, Bhima. Dia seperti kehilangan kendali."
"Ampun, Sang Prabu. Hamba pun tidak tahu. Tapi izinkamah hamba
mengurusnya."
Sang Purnawarman mengangkat tangan mempersilahkan. Bhima kemudian
menghampiri Wamana. Tapi baru beberapa langkah, Wamana berseru kepada Bhima.
"Diam di tempatmu, Bhima!"
Langkah Bhima seketika terhenti. "Tapi kau telah lancang di
hadapan sang Prabu, Wamana. Ayolah, mari kita keluar saja dan lepaskan gadis
yang tidak bersalah itu!"
"Bhima, kau ingat kejadian di kapal tadi malam saat kau menyelami
laut untuk mencari seorang prajurit yang tenggelam?" Bhima mengangguk. "Kau
masih ingat tadi pagi dan barusan saat kukatakan kalau aku mencium bau amis?"
Bhima mengangguk lagi.
"Bagus," kata Wamana. "Sekarang, mendekatlah kemari!"
Bhima menurut saja. Dia melangkah perlahan menghampiri Wamana.
Tapi beberapa jengkal dari Wamana, Bhima
menghentikan langkahnya sambil menahan nafas. Wamana tersenyum karenanya.
"Nah, bau apa yang barusan kau cium?"
Bhima mengerutkan kening. "Amis!"
"Tepat!" kata Wamana. Lalu katanya lagi kepada Sang Prabu. "Hamba
dan Bhima memang tidak hadir saat Sang Prabu menanyai salah seorang bajak laut
tadi malam. Tapi dari cerita yang hamba dengar dari salah seorang prajurit yang
hadir pada saat itu, bukankah si bajak laut mengatakan ciri-ciri dari pemimpin
mereka" Ciri-ciri yang benar-benar tepat, walaupun tidak dipercayai dan dianggap
mengada-ada!"
Saat Itu, Sang Purnawarman serta para Panglima tersentak. Mereka
semua memandang pada gadis yang ada di bawah tubuh Wamana. "Aku ingat itu. Tapi
apakah mungkin gadis seperti dia dapat memimpin gerombolan perampok yang kejam
itu"?
Wamana menggeleng cepat. "Ciri-ciri itu juga dikatakan oleh bajak
laut itu. Bukankah katanya pemimpinnya itu pun seringkali berganti-ganti
rupa?"
Sang Prabu mengangguk- angguk mengerti.
"Kalau begitu, mari kita hukum dia! Tak peduli bagaimana pun
wujud dia yang sebenarnya!" kata Sang Panglima.
Tapi tiba-tiba, Wamana merasakan tubuhnya terangkat dan kulit
wanita yang tadinya mulus kini berubah kasar dalam genggamannya. Seketika Wamana
menoleh ke bawah. Dan dia terkejut saat melihat bagaimana tubuh wanita yang tadi
ditindihnya telah hilang dan kini berubah menjadi sosok yang besar, jauh lebih
besar bahkan dari tubuhnya sendiri. Belum sempat Wamana berbuat sesuatu, sosok
itu tiba-tiba meronta dengan keras. Wamana yang bertubuh kecil tak dapat
bertahan. Pegangannya terlepas dan tubuhnya terlempar ke belakang. Sang Prabu
dan para Panglima yang juga melihat perubahan-perubahan itu segera bangkit
dari duduknya karena terkejut, begitu
juga dengan Bhima. Sosok tinggi besar itu kini bangkit sambil menggeram marah.
Kini terlihatlah sosok pemimpin bajak laut itu yang sebenamya. Dia memandang
marah pada orang-orang di sekelilingnya. Melihat itu, dengan ketakutan Wamana
melompat mundur ke arah pintu keluar dan berlindung di balik tubuh Bhima.
"Bhima! Tolong aku!"
Para Panglima segera bergerak mengelilingi Sang Prabu untuk
menjaga segala kemungkinan buruk yang dapat mengancam keselamatan Sang
Prabu.
"Kau tidak akan bisa keluar dari sini, Perompak! Menyerahlah!"
Sang Senopati membentak.
"Dan membuat kalian senang dengan merighukumku?" tanya si
pemimpin. "Tidak!" jawabnya lagi sambil menggeleng-geleng. "Tapi kalian semua
telah mengganggu kesenanganku. padahal kalian tahu kalau aku ini adalah perompak
yang bekerja untuk mengganggu kesenangan orang! Aku ingatkan kalian kalau kalian
belum sadar, itu terbalik, tahu?"
"Kau tahu apa kesalahan terbesarmu?" tanya Sang Purnawarman.
"Apa ya ?" Si perompak menggelengkan kepala.
"Kau telah merampok dan membunuh salah seorang menteri dari
kerajaan Tarumanegara! Itu adalah kesalahan tak terampuni!" kata sang
Purnawarman lagi sambil menuding ke arah perompak.
"Aku tak butuh ampunan dari
siapapun! Dan bila aku ingin merampok, jangankan seorang menteri, seorang
raja sekalipun akan tetap kurampok bila aku memang menginginkan!" Kalimat
terakhir diucapkan perompak dengan sangat bersemangat. Karenanya, tiba-tiba
memegang dadanya sambil berusaha menarik napas dengan payah. Melihat hal itu,
Sang Senopati mengira kalau perompak itu lengah. Maka dengan segera dia melompat
menyerang si perompak. Tapi dugaan sang Senopati salah, karena si perompak
justru dapat dengan mudah menghindari serangan itu dan bahkan membalasnya.
Terjadi pertempuran sengit di dalam pondok tetua kampung. Para penduduk dan prajurit telah mendengar keributan di
dalam pondok dan mereka semua datang berkerumun di sekeliling tempat itu.
Beberapa saat kemudian, rupanya perompak itu lebih tangguh dibanding sang
Senopati. Pertempuran sengit kembali terjadi. Namun kembali terbukti bahwa si
perompak memang benar-benar tangguh. Sang Panglima pun kembali terdesak hebat
hingga akhirnya dia mundur menjauhi si perompak. Demi melihat kedua panglimanya
tak berdaya menghadapi perompak itu, Sang Purnawarman sendiri akhirnya turun
tangan. Tapi para panglimanya mengllalangi.
"Jangan, Sang Prabu! Lebih baik kita menyingkir dari sini! Dia
terlalu tangguh buat kami! Kami tak ingin keselamatan Sang Prabu terancam!"
Perompak tertawa terkekeh-kekeh melihat hal tersebut.
Kesombongannya pun timbul.
"Tak usah berebut, Kalau mau, kalian semua boleh majumenyerangku!
Aku senang-senang saja"
Sungguh sangat meremehkan kalimat si perompak itu. Sang
Purnawarman merasa dihina dan ditantang. Lalu dia menepis tangan para panglima
yang melindunginya. Tapi kemudian terdengar suara seseorang berkata:
“Izinkan hamba menghadapinya. Sang Prabu tak perlu turun
tangan!”
Sang Purnawarman menoleh danmelihat Bhima tengah menjura
kepadanya. Seperti orang baru sadar dri suatu lamunan, Sang Purnawarman
tersentak lalu tersenyum gembira.
"Ah. Bhima. Aku begitu termakan oleh kesombongan perompak ini
sampai-sampai tak menyadari keberadaanmu di sini!"
"Dia memang sakti, Sang Prabu. Tapi kesombongannya justru seperti
melebihi kemampuannya itu sendiri. Dengan izin dan restu dari Sang Prabu serta
para Panglima semua, hamba akan mencoba melawannya!"
"Dengan senang hati, Bhima. Mungkin hanya kaulah yang mampu
menghadapinya. Semoga berhasil!"
Bhima lalu melangkah tenang mendekati si perompak yang masih
dengan sambil tertawa-tawa mencibirkan mulutnya ke arah Bhima.
"Heli, rupanya Tarumanegara sudah kehabisan Panglima andalannva
sehingga harus menyerahkan tanggung jawab kepada bocah bongsor ini!"
Bhima terus mendekat.
"Bocah, jangan karena kau merasa tubuhmu tinggi besar lalu kau
mengira akan dapat mengalahkanku! Lebih baik kau mundur dan biarkan aku
menghabisi rajamu, maka kau akan kubiarkan hidup!"
Bhima tak menjawab ejekan si perompak. Dia terus saja melangkah
menghampiri si perompak yang menjadi heran karena sikap Bhima itu. Tepat pada
saat Bhima tinggal beberapa depa lagi darinya, si perompak dengan kesal
menyerang Bhima. Pukulan si perompak tepat menghantam dada Bhima. Bhima tak
bergeming lalu dengan secepat kilat Bhima mengulurkan tangan ke arah si
perompak. Tahu-tahu, leher si perompak telah dicekik oleh tangan Bhima yang
kokoh. Si perompak meronta-ronta sambil memukul dan menendangi tubuh Bhima,
Bhima malah mengangkat tangannya ke atas sehingga tubuh si perompak ikut
terangkat pula ke atas. Si perompak mulai tercekik pernapasannya, matanya
melotot sementara tangan dan kakinya terus saja memukuli dan menendangi Bhima.
Dari mulutnya dia mengeluarkan suara serak tak jelas apa yang dikatakannya.
Wajah si perompak kian memerah. Perlahan-lahan gerakannya yang meronta-ronta
mulai mengendur. Saat itu Bhima menurunkan tubuh si perompak dan melepaskan
cekikannya. Tubuh si perompak meluruk ke lantai dengan lemah, dia memegangi
lehemya dengan wajah kesakitan sambil terbatuk-batuk. Pada saat itu, Sang
Panglima melambai pada beberapa orang prajurit yang tengah menyaksikan kejadian
itu.
"Ringkus dial"
Para prajurit segera melakukan
perintah itu. Mereka menghampiri si perompak dan mengamankannya, kali ini dia
tak lagi melawan. Begitu juga saat para prajurit membawanya pergi dari pondok
itu. Dia hanya bisa memandang heran dan tak mengerti pada Bhima. Untuk kesekian
kalinya, Sang Purnawarman dan Para Panglima menghaturkan terimakasih kepada
Bhima dan Wamana atas jasa mereka yang telah menghindarkan Sang Purnawarman
beserta para Panglimanya dari bahaya yang mengancam mereka.
Tak lama kemudian, Sang Purnawarman memerintahkan agar perompak
itu dibawa ke tengah laut untuk menerima hukuman seperti yang diterima oleh para
anak buahnya sebelumnya. Kini sempurnalah sudah penumpasan mereka terhadap para
bajak laut yang selama ini menjadi momok yang menakutkan bagi para pelaut.
Sementara itu, acara pengabadian keberhasilan penumpasan
gerombolan bajak laut segera dimulai. Bentuk pengabadian itu diwujudkan dalam
sebuah prasasti yang terletak di tepi sungai Cidangiang, Sang Purnawarman
rnenuliskannya dalam aksara Pallawa bahasa Sansekerta yang antara lain berbunyi
sebagai berikut:
Vikrantayam vanipateh
Prabbhuh satyaparakramah
Narendraddhvajabutena
crimatah
Purnnavarmmanah
((Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta
penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur
Purnawarman)
Prasasti itu berada di tepi sungai Cidangiang, di desa Lebak
Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang sekarang.
PANGERAN
PANDE GELANG DAN PUTRI CADASARI
Oleh Zaenul Muttaqien
DI tengah sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik
jelita duduk termenung. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan
dia sedang bermuram durja.
Tidak jauh dari tempat
sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh baya dengan karung di
pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat sang Putri. Wajah lelaki
itu tampak penuh kekhawatiran.
"Sampurasun," sapanya.
Sang Putri tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam
kesedihannya, sehingga tidak menyadari kehadiran lelaki itu.
"Sampurasun," Lelaki itu mengulang sapa.
"Ra... rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"
"Maaf jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu
seraya menundukkan kepalanya.
Sang Putri tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama
lelaki yang berdiri di hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya
pun legam. Namun Putri merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama
buah manggis: hitam dan pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.
"Sedari tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah
gulana. Ada apa
gerangan?"
"Saya kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi
kepada orang lain."
"Kalau begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya
berharap Tuan Putri berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu
seraya hendak berlalu.
"Tunggu, Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.
Lelaki itu mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang
Putri.
"Sekali lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya
menyinggung perasaan Kisanak, apalagi menganggap rendah."
Beberapa saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya
membasah. Sang Putri menangis.
Lelaki itu duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi
keingintahuan yang besar tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Siapa nama Kisanak?" tanya sang Putri.
"Saya... saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering
memanggil saya dengan sebutan Ki Pande."
"Baiklah, Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya
akan menghilangkan penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan
masalah ini kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka.
Tidak akan ada seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri dengan
mata berkaca-kaca.
"Tapi mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"
"Saya hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"
Ki Pande tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala
dengan hati dipenuhi rasa iba.
"Nama saya Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.
Menurut Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang
pangeran bernama Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah
bengis dan kejam. Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti
mandraguna. Apa pun yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa
berbantah.
"Saya sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai
istrinya," Putri Arum mengakhiri ceritanya.
"Saya ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata.
"Maafkan saya, karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu
Putri."
"Saya mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri
angkara Pangeran Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit
yang saya terima benar adanya."
"Wangsit?" tanya Ki Pande.
"Ya. Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit
manggis ini. Kelak katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi
pekertinya, dan sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian ini
hampir sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa saya
kawin dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab setelah
sekian lama, dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah manggis itu
ternyata tak kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.
Mendengar hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada
yang tengah dipikirkannya.
"Oh, tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan
untuk membantu saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.
"Benar," jawab Ki Pande.
"Itu berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk
saya!" seru Putri Arum, penuh harap.
"Barangkali itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.
"Katakan saja, Ki," Putri Arum penasaran.
"Saya hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan
Pangeran Cunihin itu."
"Apa Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang
sangat saya benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.
Ki Pande sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha
tetap tenang. "Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."
"Dengan syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.
"Ya, dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."
"Hal apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat
sakti mandraguna. Laut saja bisa dikeringkannya!"
"Yakinlah, Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki
Pande berusaha meyakinkan Putri Arum.
"Kalau begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"
"Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa
dilalui manusia. Kemudian batu tersebut harus diletakkan di pesisir pantai.
Semuanya harus dikerjakan tidak lebih dan tiga hari," Ki Pande menjelaskan.
"Bukankah syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran
Cunihin?"
"Tapi tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi
batu keramat, setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."
"Setelah itu"" tanya Putri Arum.
"Serahkan semuanya kepada saya!"
Mendengar seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum
menyetujui. Ki Pande kemudian mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil
membawa karung yang berisi alat-alat membuat gelang.
Perjalanan menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri
Arum. Sudah hampir setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri
Arum pun jatuh pingsan di atas sebuah batu cadas. Orang-orang kampung membantu
Ki Pande rnembawa Putn Arum ke rumah salah seorang penduduk dan merawatnya
dengan penuh kasih sayang. Salah seorang tetua kampung mengatakan bahwa Putri
Arum bisa segera pulih jika minum air gunung yang memancar melalui batu
cadas.
Beberapa orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu
cadas. Dan keajaiban pun terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air
yang berasal dari batu cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum
dengan sebutan baru yaitu Putri
Cadasari.
Sementara itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia
membuat gelang yang sangat besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande,
gelang tersebut akan dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat
Pangeran Cunihin.
Waktu yang ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang
menemui Putri Cadasari dan menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat
kepada Pangeran Cunihin.
"Hahaha, itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa
maksud dari syarat itu?" tanya Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia
segera menyembunyian keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita
tidak terganggu, Pangeran. Duduk di atas batu sambil menikmati birunya laut,
bukankah itu sangat menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.
"Wah, Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin,
pula.
Tak sampai tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran
Cunihin berhasil menemukan batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu
kemudian dibawanya ke sebuah pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri
Cadasari diam-diam mengkuti dari kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka
bersembunyi, menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Cunihin.
Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat.
Dengan konsentrasi penuh, Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke
batu keramat. Tiba-tiba tangan Pangeran Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu
keramat itu pun retak dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat
besar tercipta di tengah batu keramat itu.
"Hahaha, aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!"
Pangeran Cunihin mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri
Cadasari.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang
besar pada batu keramat yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak
bersembunyi, tapi didengarnya sebuah bentakan keras.
"Heh tua bangka, sedang apa kau di sini?!"
Ternyata Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama
Putri Cadasari.
"0, aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah
aku pernah mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau
hanya pantas menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas.
"Lihatlah, sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi
memilikinya!"
Putri Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin,
seolah telah mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu
terjawab, Pangeran Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat
batu keramat yang telah berlubang itu.
"Tuan putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud.
Sebuah batu besar berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah
dan romantis," kata Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan
kegembiraan, w alau di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya
menjadi pendamping Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.
"Apa karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa
batu ini telah berlubang?" kata Putri Cadasan.
"Hm, baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati
batu ini untuk membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan
melewati lubang batu keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan
tubuhnya sakit luar biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah
angkasa. Lalu seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa
berdiri. Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa
daya, seolah telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah
menjadi seorang pemuda tampan.
"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti
menyaksikan keanehan-keanehan itu.
"Sebenarnya ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu
kami berteman. Tapi setelah mendapat kesaktian dari guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian
saya, lalu menjadikan saya sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian mencari
kesaktian untuk mengembalikan keadaan saya. Ternyata hanya satu yang bisa
mengembalikan keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati gelang-gelang
buatan saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah Pangeran Cunihin yang
terkulai tak berdaya.
"Kini saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena
jasa Tuan Putri. Untuk itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande
Gelang, menggenggam tangan Putri Cadasari.
"Ah, sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata
wangsit yang saya terima itu memang benar."
Akhirnya, keduanya meninggalkan batu keramat berlubang itu.
Beberapa waktu kemudian mereka pun menikah dan hidup berbahagia sampai akhir
hayatnya.
Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan
kampung Kramatwatu, dan batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal
dengan nama Karang Bolong. Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit di
bukit manggis, kini orang mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis dalam
bahasa Sunda berarti Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri
disembuhkan dari sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang,
tempat Pangeran Pande Gelang membuat gelang.
HIKAYAT
TANJUNG LESUNG
Oleh Suharyanto
SYAHDAN, pada zaman dahulu kala ada seorang pengembara dari Laut
Selatan bernama Raden Budog. Suatu hari, setelah lelah bermain di tepi pantai,
Raden Budog beristirahat di bawah pohon ketapang laut. Angin semilir sejuk
membuat Raden Budog terlena. Perlahan matanya terpejam. Dalam tidumya Raden
Budog bermimpi mengembara ke utara dan bertemu dengan seorang gadis yang sangat
cantik. Hati Raden Budog terpesona oleh kecantikannya. Tanpa disadarinya,
kakinya melangkah mendekati gadis itu yang tersenyum manis kepadanya. Dilihatnya
tangan gadis itu diulurkan kepadanya. Raden Budog pun mengulurkan tangannya
hendak menyambut uluran tangan gadis itu. Tapi betapa terkejutnya dia...
seranting kering pohon ketapang mengenal dahinya. Raden Budog terperanjat dan
terbangun dari tidurnya. Dengan perasaan kesal diraihnya ranting itu dan
dibantingnya keras-keras. "Ranting keparat!" gerutunya. "Kalau ranting itu tidak
jatuh maka aku bisa menikmati mimpi indahku."
Berhari-hari bayangan mimpi itu tidak pernah bisa hilang dari
ingatan Raden Budog. Lalu diputuskannya bahwa dia akan pergi mengembara. Raden
Budog pun segera menyiapkan perbekalan untuk pengembaraannya.
"Cek...cek...cek..., kita akan mengembara, sayang," kata Raden Budog
mengelus-elus anjing kesayangannya yang melonjak-lonjak dan menggonggong gembira
seolah mengerti ajakan tuannya.
Raden Budog lalu menghampiri kuda kesayangannya. "Kita akan
mengembara jauh, sayang. Bersiap-siaplah." Raden Budog membelai-belai kudanya
yang meringkik gembira. Kemudian Raden Budog menyiapkan golok dan batu asah yang
selalu dibawanya ke mana saja dia mengembara.
Setelah semuanya dirasa siap, Raden Budog segera menunggang kuda
kesayangannya, berjalan ke arah utara. Di pinggangnya terselip golok panjang
yang membuatnya tampak gagah dan perkasa. Sedangkan tas anyaman dari kulit terep
berisi persediaan makanan, terselempang di bahunya. Sementara itu anjing
kesayangannya berjalan di depan, mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya.
Anjing itu kadang menggonggong menghalau bahaya yang mengancam tuannya.
Lima hari perjalanan telah ditempuhnya.
Walaupun begitu Raden Budog belum juga mau turun dari kudanya. Dia juga tidak
menyadari badannya sudah lemah karena perutnya kosong, begitu pula kudanya.
Pikirannya cuma terbayang-bayang pada mimpinya di tepi pantai itu. "Kapan dan di
mana aku bisa bertemu gadis itu?" gumamnya dalam hati.
Raden Budog terus memacu kudanya menapaki jalan-jalan terjal dan
mendaki hingga tiba di Gunung Walang yang sekarang ini menjadi kampung Cimahpar.
Tiba-tiba kudanya roboh. Raden Budog terperanjat, mencoba menguasai
keseimbangannya. Namun Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya.
Namun karena sudah sama-sama lemah, Raden Budog dari kudanIva berguling-guling
di lereng gunung. Anjing kesayangannya menggonggong cemas meningkahi ringkik
kuda. Raden Budog segera bangun, sekujur badannya terasa lemah dan nyeri.
Sejenak Raden Budog istirahat di Gunung Walang. Dia membuka
bekalnya dari makan dengan lahap. Sementara itu kudanya mencari rumput segar
sedangkan anjingnya berlarian kian kemari memburu mangsanya, seekor burung gemak
yang berjalan di semak-semak.
"Ayo kita berangkat lagi!" Raden Budog berteriak memanggil kuda
dan anjingnya. Namun dilihatnya pelana kuda itu ternyata telah robek. Dengan
terpaksa Raden Budog menanggalkan pelana itu dan memutuskan untuk meneruskan
perjalanannya dengan berjalan kaki karena dia tidak biasa menunggang kuda tanpa
pelana. Mereka terus rnelangkah hingga tibalah di suatu tempat yang tinggi. Tali
Alas namanya yang sekarang disebut Pilar. Dari tempat inilah Raden Budog dapat
melihat laut yang biru membentang dengan pantainya yang indah.
Raden Budog kemudian melanjutkan perjalanan ke pantai Cawar.
Begitu sampai di pantai yang indah itu Raden Budog segera berlari dan terjun ke
laut, berenang-renang gembira. Perjalanan yang begitu melelahkan Iitu seolah
lenyap oleh segarnya air pantai Cawar. Di muara sungai Raden Budog membilas
tubuhnya. lalu dicarinva kuda dan anjing kesayangannya untuk meneruskan
pengembaraan.
"Ayo kita berangkat lagi!" seru Raden Budog ketika dilihatnya
kuda dan anjing kesayangannya itu sedang duduk di tepi pantai.
Tidak seperti biasanya, kuda dan anjing kesayangannya itu diam
saja seolah tak perduli ajakan tuannya. Raden Budog merasa heran. "Cepat
berdiri! Ayo kita berangkat"' Seru Raden Budog lagi.
Tapi kedua binatang itu tetap duduk saja, tak bergerak sedikit
pun. Anjing dan kuda itu tampak sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan
panjang, sehingga sekadar untuk berdiri pun tak sanggup lagi.
"Aku harus segera menemukan gadis pujaanku. Kalau kalian tidak
mau menuruti perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian
di sini!" teriak Raden Budog sambil meneruskan perjalanan, meninggalkan anjing
dan kuda kesayangannya. Namun kedua binatang itu tetap tidak bergeming dan
menjelma menjadi karang. Sampai sekarang di pantai Cawar terdapat karang yang
menyerupai kuda dan anjing sehingga disebut Karang Kuda dan Karang Anjing.
Maka Raden Budog melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Dalam
benaknya telah ada kesayangan lain yang ingin segera ditemukannya. Gadis pujaan
yang muncul dalam mimpinya itu benar-benar memenuhi benaknya, sehingga goloknya
pun tertinggal di Batu Cawar. Kini Raden Budog hanya membawa tas dari kulit
terep beserta batu asah di dalamnya. Sesampainya di Legon Waru, Raden Budog
kembali merasakan kelelahan. Sendi-sendi tubuhnya terasa lunglai. Tapi Raden
Budog tidak ingin beristirahat barang sebentar. Dia terus mencoba melangkah
dengan sisa tenaganya.
"Benda ini rasanya sudah tak berguna, hanya memberati pundakku
saja. Lebih baik kutinggalkan saja di sini," gumam Raden Budog. Diambilnya batu
asah itu dari dalam tasnya dan diletakkannya di tepi jalan. "Biarlah batu ini
menjadi kenangan," gumamnya lagi. Demikiamah, sampai saat ini di Legon Waru
terdapat sebuah karang yang dikenal dengan Karang Pengasahan.
Berhari-hari Raden Budog terus mengembara menyusuri pesisir
pantai. Wajah gadis yang menghiasi mimpinya memenuhi pikirannya sepanjang
perjalanan, menyalakan semangat dalam dadanya. Rasa bosan, lelah dan letih tak
dihiraukannya. Juga pakaiannya yang mulai lusuh dan badannya yang berdebu. Suatu
ketika hujan turun dengan derasnya, Raden Budog berlindung di bawah pohon. Dari
balik pasir, tiba-tiba berhamburan penyu-penyu besar dan kecil menuju laut.
Penyu-penyu itu seakan gembira menyambut datangnya air hujan. Tempat itu kini
dikenal dengan nama Cipenyu. Sesaat kemudian Raden Budog melanjutkan
perjalanannya setelah mengambil daun pohon langkap yang dijadikannya sebagai
payung agar tidak kehujanan.
Namun hujan terus melebat, tidak ada pertanda akan reda. Mendung
tampak semakin menghitam dan bergerak dari selatan menuju utara. "Mudah-mudahan ada gua
di sekitar sini. Aku harus berlindung dan beristirahat sejenak," gumam Raden
Budog. Dan betapa gembiranya Raden Budog ketika dilihatnya sebuah bukit karang
yang menjorok. Raden Budog pun mempercepat langkah dan masuk ke dalam gua.
Ditutupnya pintu gua dengan daun langkap sehingga gua itu pun menjadi gelap
gulita.
Beberapa saat Raden Budog beristirahat melepas lelah sambil
menunggu hujan reda. Tapi Raden Budog merasa tidak nyaman berada dalam gua yang
gelap gulita itu. Dibukanya daun langkap yang menutupi pintu gua. Seberkas sinar
menerobos masuk. Ternyata hujan telah reda. Raden Budog pun keluar dan
ditutupnya kembali mulut gua itu dengan daun langkap. Sampai saat ini pintu gua
itu tetap tertutup daun langkap yang membatu dari dikenal dengan nama Karang
Meumpeuk.
Tidak jauh dari Karang
Meumpeuk, tibalah Raden Budog pada sebuah muara sungai yang airnya sangat deras.
Hujan yang baru saja turun memang sangat lebat, sehingga tidak mengherankan jika
sungai-sungai menjadi banjir. Raden Budog terpaksa menghentikan perjalanannya
dan duduk di atas batu memandangi air sungai yang meluap. Sayup-sayup terdengar
bunyi lesung dari seberang sungai. Hati
Raden Budog berdebar dipenuhi rasa sukacita. Dia merasa yakin, di seberang
sungai terdapat kampung tempat tinggal gadis pujaannya yang selama ini dia cari.
"Dasar kali banjir!" gerutu Raden Budog tak sabar menunggu banjir surut. Tempat
ini sampai sekarang terkenal dengan Kali Caah yang berarti kali banjir.
Karena sudah tidak dapat menahan sabar, akhirnya Raden Budog
menyeberangi sungai itu walaupun dengan susah payah dan dengan mengerahkan
seluruh tenaganya. Di pitltu masuk kampung, Raden Budog beristirahat,
rnengitarkan pandang ke arah kampung. Hatinya mulai merasa tenang karena merasa
akan segera bertemu dengan gadis yang dimimpikannya.
Di kampung itu tinggallah seorang janda bernama Nyi Siti yang
memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik. Sri Poh Haci namanya. Setiap
hari Dri Poh Haci membantu ibunya mnumbuk padi menggunakan lesung yang
dipukul-pukulnya itu menimbulkan suara yang sangat merdu dan indah. Oleh sebab
itu, setiap kali selesai menumbuk padi, Sri Poh Haci tidak segera berhenti, tapi
terus memukul-mukul lesung itu hingga terangkatlah nada yang merdu dan enak
didengar. Dimulai dari sinilah akhirny banyak gadis kampung yang berdatangan ke
rumah Nyi Siti untuk ikut memukul lesung bersama Nyi Poh Haci.
Kebiasaan memukul lesung akhirnya menjadi tradisi kampung itu.
Sri Poh Haci merasa gembira dapat menghimpun gadis-gadis kampung bermain lesung.
Permainan ini oleh Sri Poh Haci diberi nama Ngagondang, yang kemudian dijadikan
acara rutin setiap akan menanam padi. Tapi pada setiap hari Jum’at dilarang
membunyikan lesung, karena hari Jum’at adalah hari yang keramat bagi kampung
itu.
Raden Budog yang sedang beristirahat di pintu masuk kampung
kembali mendengar bunyi lesung yang mengalun merdu. Kemudian dia berdiri dan
melangkahkan kaki menuju ke arah sumber bunyi-buny'in itu. Bunyi lesung
terdengar semakin keras. Di dekat sebuah rumah, dilihatnya gadis-gadis kampung
sedang bermain lesung. Tangan mereka begitu lincah dan trampil mengayunkan alu
ke lesung, membentuk nada-nada mempesona. Tapi yang lebih mempesonakan Raden
Budog adalah seorang gadis semampai yang cantik jelita. Gadis itu mengayunkan
tangannya sekaligus memberi aba-aba pada gadis-gadis lain. Rupanya gadis itu
adalah pemimpin dari kelompok gadis-gadis yang sedang bermain lesung itu.
Merasa ada yang memperhatikan, gadis itu, Sri Poh Haci,
memberikan syarat kepada gadis-gadis lainnya untuk menghentikan permainan.
Gadis-gadis itu pun bergegas pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula Sri Poh
Haci. Di dalam rumah, ibunya bertanya kepada Sri Poh Haci, mengapa permainannya
hanya sebentar. Sri Poh Haci lalu menceritakan bahwa di luar ada seorang lelaki
tampan yang belum pernah dilihatnya. "Laki-laki itu memperhatikanku terus. Aku
jadi malu, Bu," kata Sri Poh Haci.
Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan pintu.
"Sampurasun."
"Rampes," jawab Nyi Siti seraya berjalan menuju pintu dan
membukanya perlahan. Dilihatnya seorang pemuda yang gagah lagi tampan berdiri di
depan pintu.
Belum sempat Nyi Siti berbicara, pemuda itu sudah mendahului
membuka suara. "Maaf mengganggu. Bolehkah saya menginap di rumah ini?"
Nyi Siti tentu saja kaget mendengar permintaan dari orang yang
tak dikenalnya. "Kisanak ini siapa? Dari mana asalnya? Mengapa pula hendak
menginap di sini? Saya belum kenal dengan Kisanak," kata Nyi Siti.
"Oh, ya. Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Raden
Budog. Saya seorang pengembara. Saya tak punya tempat tinggal. Kebetulan saya
sampai di kampung ini, dan kalau diperbolehkan saya ingin menginap di sini,"
jelas Raden Budog.
"Maaf, Kisanak. Saya seorang janda dan tinggal dengan anak
perempuan saya satu-satunya. Saya tidak berani menerima tamu laki-laki, apalagi
sampai menginap," jawab Nyi Siti dengan tegas dan segera menutup pintu.
Hari sudah mulai gelap. Raden Budog yang merasa kesal oleh
kejadian yang baru saja dialaminya berjalan menuju bale-bale bambu di dekat
rumah Nyi Siti. Dia merebahkan tubuhnya dan segera tertidur pulas. Dia pun
bermimpi diijinkan menginap di rumah itu. Bukan oleh Nyi Siti yang menyebalkan
itu, tapi oleh seorang gadis cantik yang dia temui dalam mimpinya di pantai
selatan, gadis yang tadi dilihatnya sedang bermain gondang. Ah, betapa senangnya
hati Raden Budog.
Namun waktu begitu cepat berlalu. Matahari mulai muncul di ufuk
timur. Raden Budog terbangun, mengusap-usap matanya yang masih mengantuk.
Hidungnya mencium wangi kopi yang menyegarkan. Kemudian dilihatnya seorang gadis
cantik menyuguhkan segelas kopi di sampingnya.
"Minum dulu kopinya, Raden," kata gadis itu.
"Kamu siapa? Dari mana kamu tahu namaku?" tanya Raden Budog,
walau sesungguhnya dia tahu bahwa gadis itu pastilah anak Nyi Siti.
"Namaku Sri Poh Haci, anak Nyi Siti.”
Hari berganti hari. Kedua insan itu pun jatuh cinta. Nyi Siti
sebenarnya tidak setuju bila anaknya dipinang oleh orang yang tidak diketahui
asal-usulnya, apalagi orang itu kelihatan keras kepala. Tapi Nyi Siti juga tidak
ingin mengecewakan hati Sri Poh Haci, anaknya yang semata wayang itu. Akhirnya
Raden Budog menikah dengan Sri Poh Haci. Kesenangan Sri Poh Haci menabuh lesung
tetap dilanjutkan bersama gadis-gadis kampung. Bahkan Raden Budog sendiri
menjadi sangat mencintai bunyi lesung dan turut memainkannya. Hingga suatu
ketika, terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan sama sekali oleh penduduk
kampung itu. Karena sangat senangnya terhadap bunyi lesung, Raden Budog yang
keras kepala itu setiap hari tidak mau berhenti menabuh lesung.
Hari itu hari Jum'at. Raden Budog kembali hendak menabuh lesung.
Para tetua kampung memperingatkan dan melarang
Raden Budog. Tapi Raden Budog tidak perduli dan tetap menabuh lesung. Dengan
hati girang dan bersemangat, Raden Budog terus menabuh lesung seraya
melompat-lompat kian kemari.
"Lihat, lihat! Ada lutung memukul lesung! Ada lutung memukul lesung!"
Penduduk kampung berteriak-teriak melihat seekor lutung sedang memukul-mukul
lesung.
Raden Budog terperanjat mendengar teriakan-teriakan Itu. Dia
melihat ke sekujur tubuhnya. Betapa kagetnya dia setelah melihat tangarnnya
penuh bulu. Begitu pula kakinya. Dirabanya mukanya yang juga telah ditumbuhi
bulu. Raden Budog pun lari terbirit-birit masuk ke dalam hutan di pinggir
kampung itu. Raden Budog menjadi lutung. Penduduk kampung itu menamainya Lutung
Kesarung.
Sri Poh Haci sangat malu dengan kejadian itu. Diam-diam dia pergi
meninggalkan kampung. Konon Sri Poh Haci menjelma menjadi Dewi Padi. Demikianlah
ceritanya, kampung itu pun terkenal dengan sebutan Kampung Lesung dan karena
letaknya di sebuah tanjung, orang-orang kemudian menyebutnya Tanjung Lesung.